Pada suatu hari yaitu hari yang tidak diduga-duga, hari
Rabu, 12 Januari 2011.
Pada sore hari, pukul 15.00 WIB
saya berencana untuk masukkan uang di bank BRI Unit Maguwoharjo yang terletak
di jalan Ringroad Timur di pinggir jalan Jogja-Solo dan setelah itu olah raga
ngepit (bersepeda). Waktu menunjukan pukul 16.00 WIB (jam 4.00 sore), saya berangkat
ke bank tersebut. Setibanya di bank, ternyata bank BRI tersebut ditutup pukul
15.00 WIB. Maka saya memutuskan untuk olah raga ngepit (bersepeda) tetapi tidak
tahu arah dan tujuannya.
Saya ngepit ke arah timur Jogjakarta , saya terus
mengayuh sepeda. Saya, melalui jalan Jogja-Solo melewati daerah Kalasan, terus mengayuh
sepeda ke arah timur yaitu daerah Prambanan. Tanpa henti saya terus mengayuh
sepeda sampai di Kabupaten Klaten. Sesampainya di Kantor Bupati Klaten, saya
istirahat. Di tempat itu, waktu menunjukan pukul 16.00 WIB.
Setelah istirahat sekitar 15
menit, saya hendak pulang ke tempat saya tinggal yaitu desa Pingan,
Maguwoharjo, Yogyakarta, namun tidak melalui jalan Jogja-Solo melainkan ke arah
gunung Merapi dan dari Merapi saya akan pulang ke tempat saya tadi. Saya
mengayuh sepeda ke arah utara Klaten. Di dekat Kota Klaten itu, saya bertanya
kepada seorang bocah kecil yang juga sedang bermain sepeda: “Adik, tahu tidak
jalan ke Merapi?” “Saya juga tidak tahu, tapi jalan ini kayaknya ke Merapi”
ujarnya.
Saya terus melewati sawah-sawah,
pemandangan yang indah mempesona. Di daerah Nglingi, saya bertanya kepada
seorang petani yang sedang duduk istirahat di pinggir jalan, “Nuwun sewu pak,
jalan teng Merapi niki pundi pak?” Lalu bapak tersebut menjelaskann jalan ke
Merapi pakai bahasa Jawa seluruhnya, tetapi semua omongan bapak itu saya
mengerti. Tidak sia-sia saya belajar bahasa jawa. Ketika saya bertemu seseorang
khususnya orang jawa entah di mana pun, saya pasti pakai bahasa jawa walaupun
itu jawa ngoko (Ngoko bukan Krama
Inggil). Saya bertanya lagi: “Jarak saking mriki mangke Merapi niki pinten?”
Jawabnya: “Jarakne selawe-an” jaraknya 26 km.
Saya melanjutkan perjalananku ke
arah Merapi. Melewati ladang-ladangnya para petani di daerah Nglingi. Untungnya
jalan di sekitar Desa Nglingi itu datar jadi mengayuh sepeda agak cepat. Di
suatu tempat, jarum jam menunjukkan pukul 18.00 WIB, saya istirahat di suatu
angkringan sambil minum es teh. Di tempat itu saya bertanya kepada orang yang
ada situ: “Pak, jalan ke Merapi jaraknya dari sini berapa?”., “Oh, masih jauh
de, kira-kira 25-an kilometer” Ungkapnya, lagi sambil nunjuk tangan ke arah
utara, “Kalau kamu ke arah sana lagi kira-kira 5 kilometer, kamu akan ketemu
pertigaan besar, petingaan itu kalau ke kanan berarti ke Boyolali dan kembali
ke Klaten. Kamu ikuti jalan ke kiri saja, nanti kalau binggung tanya orang yang
ada di daerah sekitar itu” ujar bapak itu. Saya sangat berterimakasih kepada
orang-orang tersebut karena mereka ramah terhadap saya.
Saya pun melanjutkan perjalanan
saya. Mulai dari daerah itu jalannya tidak datar, berkelak-kelok bahkan
naik-naik. Begitu mengayuh sepeda sampai di pertigaan besar yang telah
diberitahu oleh bapak tadi, saya pun ikuti arah ke kiri. Saya pun terus tanpa
henti mengayuh sepeda walaupun jalannya tidak merata agar tujuan saya ke Gunung
Merapi tersebut tercapai. Karena kondisi jalan yang cukup memprihatinkan,
artinya jalan itu tanjakan, tikungan, banyak debu akibat truk-truk besar yang
sedang melewati jalan tersebut mengambil pasir-pasir banjirnya lahar dingin
pasca meletusnya Merapi, serta jalannya bolong-bolong. Saya membayangkan kalau
saya sedang melewati di jalan trans Nabire-Paniai, persis sama jalannya.
Saya telah melewati sekitar 15
kilometer dari Klaten, cukup melelahkan namun karena saya yakin bahwa saya akan
tiba di Gunung Merapi pada waktu yang telah saya tentukan yaitu pukul 19.00
WIB. Di pertengahan jalan, saya sering menuntun sepeda kalau saya sedang
kelelahan, namun saya tidak berhenti dan istirashat. Setiap kali saya bertanya
kepada orang yang ada di pinggir jalan pun hanya sebentar saja lalu saya
langsung melanjutkan perjalananku. Jalannya mendaki, saya makin kelelahan namun
karena tujuanku maka saya tidak berhenti sedikit pun, apalagi matahari sudah
hampir menghilang. Hari sudah gelap, dengan susah payah saya tiba di suatu
tempat karena waktu menunjukkan pukul 19.00 WIB. Tempat tersebut adalah Dusun
Imbuhrejo, Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten, 25 kilometer dari pusat
Kabupaten Klaten.
Saya bertanya kepada seorang
bapak yang sedang duduk santai di depan tokoh kecil: “Pak, jarak dari sini ke
Merapi berapa?” Ia menjawab: “Jaraknya kira-kira 10 kilometer lagi ke Merapi”.
Saya pun balik bertanya: “Kalau jalan ini menuju kearah Merapi kah?” “Ini bukan
jalan persis ke Merapi tetapi di sebelah utara Merapi kira-kira 8-an kilometer”
Ucapnya. Lagi bertanya: “Pak, ada tidak jalan ke daerah Cangkringan, Sleman,
atau daerah Jogja?” Ia pun menjawab demikian sambil menunjuk jari ke arah
jalan: “Kalau jalan ini bisa ke Cangkringan tapi jalan tikus, jaraknya 17-an
kilometer dari sini, rumah pun jarak-jarak, apalagi lampunya ada kalau ada
rumah. Terus daerah sebelum Cangkringan itu, jalannya sebagian sudah hilang
karena banjir lahar dingin dari Merapi, ada banyak jalan kecil juga di tengah
jalan jadi membuatmu binggung, kamu tidak mungkin bertanya kepada orang di
sekitar sana karena mereka pada tidur semua”. Lagi menjawab: “Lebih baik kamu
kembali turun kira-kira 10-an kilometer, kamu akan ketemu pertigaan yang salah
satu jalannya ada gapura yang bertuliskan Desa Blinggingharjo, kamu tanya orang
yang yang ada di sana”. “Terimakasih pak atas penjelasannya” jawabku. Saya pun
lekas turun kembali melalui jalan tadi.
Setelah kembali turun kira-kira
10 kilometer, saya ketemu suatu pertigaan besar, yang jalan ke kanan ada gapura
yang bertuliskan Desa Blinggingharjo. Saya pun teringat akan kata-kata bapak
tadi sehingga saya berhenti di situ. Saya bertanya kepada sekeluarga yang
sedang duduk di pintu depan. Saya disuruh istirahat di rumah tersebut meskipun
baru mengenal. Kami pun asyik berbincang-bincang tentang kehidupan, ternyata
keluarga tersebut adalah keluarga katolik. Mereka menjelaskan jalan-jalan
sekitar Jogja, Klaten, Kemalang, dan daerah-daerah lain. Cukup lama saya
beristirahat di tempat itu. Waktu menunjukkan pukul 20.00 WIB, saya pun pamit
pada keluarga tersebut untuk pulang ke tempat saya tinggal. Mereka menjelaskan,
“Kamu ikuti jalan ke kanan terus walaupun ada jalan-jalan kecil. Kira-kira
14-an kilometer, kamu akan ketemu pertigaan, ke kiri itu ke arah Klaten dan ke
kanan ke arah Kaliurang. Kamu tanya pada orang yang ada di sana ”. Saya merasa bahwa Tuhan itu selalu ada
bersama saya walaupun dalam lembah kekelaman.
Selama penjalanan pulang, saya
menyalahkan lampu HP karena sepeda saya tidak punya lampu dan jalanannya pun
tidak ada lampu walaupun ada kendaraan yang selalu melewati. Saya tiba di
pertigaan yang telah diberitahu oleh keluarga tadi. Saya pun berhenti dan
bertanya kepada warga yang ada di situ: “Mas, jalan ini kemana saja?”. Sambil
menunjuk jari ke arah jalan ia pun menjawab: “Mas, kalau jalan ke kiri berarti
ke arah Klaten tetapi kalau ke kanan berarti kearah Kaliurang” lagi
menambahkan: “Mas ikut ke arah Kaliurang, kira-kira 5 kilometer kamu akan
ketemu perempatan. Mas ambil jalan ke kiri setelah itu ikuti jalan itu terus
kira-kira 12-an kilometer, Mas akan ketemu jalan raya Jogja-Solo”. Saya berterimakasih
atas penjelasannya.
Saya hendak pulang ke tempat saya
tinggal, mengayuh sepeda dengan susah payah karena keadaan sangat melelahkan
karena berjalan berkilo-kilo meter. Saya beristirahat di suatu warung pecel
ayam di daerah sebelum Prambanan dan makan malam karena perut saya sudah minta
lapar. Saya pulang mengayuh sepeda dalam kondisi parah karena kecapaian.
Setibanya di jalan raya Jogja-Solo tepatnya di sebelah timur Candi Prambanan,
saya pun pulang ke Desa Paingan, Maguwoharjo tempat saya tinggal mengikuti
jalan raya tersebut.
Belum lama sampai di Kantor
Keuangan Daerah Kalasan, saya mengambil arah kanan jalan raya dan masuk ke arah
utara Kalasan. Sesampainya di Selokan Mataram, saya pun mengikuti jalan
sepanjang selokan tersebut hingga tiba di Ringroad Utara kota
Yogyakarta . Saya pulang ke Paingan,
Maguwoharjo, Sleman, DIY tempat saya tinggal. Saya tiba di pada pukul 21.30 WIB.
KESAN
Perjalanan kali ini sangat
melelahkan di banding perjalan sebelum-sebelumnya yaitu ke Pakem, Godean,
Kalasan, Kota Baru, dan tempat-tempat lain. Selain itu, waktu saya masih berada
di Nabire, Papua, saya pernah bepergian ke Pelabuhan Samabusa yang jaraknya
30-an kilometer dari Kota Nabire. Perjalanan kali ini adalah perjalanan
terpanjang dan terlama selama SMA di Nabire-Papua dan Kuliah di Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta semester satu (I). Saya menjadi ‘turi’ di daerah yang
jauh dari tempat saya tinggal, lamanya saya berkelana menjadi turi adalah enam
setengah jam (jam 4.00 sore sampai 9.30 malam). Di samping perjalanan yang
melelahkan, saya mendapat suatu pelajaran yang membuat saya menjadi pribadi
yang lebih matang dan dewasa, mudah berinterksi dengan orang-orang baru,
orang-orang yang saya belum kenal sama sekali. Di sisi lain saya ingin melihat
situasi dan kondisi yang ada di tempat lain.
Mengapa saya perluh
olah raga/turi ke tempat jauh dan berani terhadap semua risiko?
Saya belum bisa menjawab pertanyaan di atas ini tetapi
sejauh apa yang saya pikirkan dan rencanakan dalam benak pikiran saya, yakni:
1) Olah
raga adalah aktivitas yang menggerakkan seluruh badan supaya badan kita tetap
fit, menghilangkan setresan otak dan pikiran kita, mengontrol tubuh kita dari
serangan penyakit yang menyusup dalam tubuh kita, serta menghilangkan beban
kita terhadap segala macam belenggu.
2) Mengendarai
sepeda menjadi prioritas saya selama hidup di SMA di Nabire maupun Kuliah di
Yogyakarta. Maka tidak heran kalau saya bepergian ke mana-mana menggunakan
sepeda kayuh.
3) Saya
suka olah raga ke daerah-daerah baru, daerah yang belum saya ketahui.
4) Hidupku
tergantung pada Tuhan. Artinya, dalam perjalanan tersebut mendapat kecelakan
atau kegembiraan, semuanya itu adalah rencana Tuhan. Maka seluruh hidupku
berserah pada Dia Yang Maha Kuasa.
Mengapa saya selalu
menggunakan sepeda kayuh bila hendak bepergian?
Saya tidak tahu apa alasan mengapa saya selalu menggunakan
sepeda kayuh kalau hendak bepergian ke mana saja entah jaraknya dekat atau
jauh! Tetapi sejauh saya memahami beberapa alasan, yakni:
1) Dengan
menggunakan sepeda kayuh, segala aktivitas saya menjadi lebih ringan di banding
jalan kaki atau pinjam motor orang lain. Seandainya saya punya motor, uangku
akan habis sedikit demi sedikit dalam pembelian bahan bakar, service motor bila
rusak, dll., padahal uang yang saya pergunakan selama SMP, SMA dan Kuliah
adalah uang dari para umat bukan dari orangtua.
2) Setiap
hari saya menggunakan sepeda, alhamdulillah pori-pori kulit pada tubuh saya
selalu mengeluarkan zat beracun melalui keringat. Saya tidak suka main bola
(bola apa saja) tetapi olah raga paforit saya adalah olah raga mengayuh sepeda
alias ‘ngepit’ dan olah raga lari pagi alias ‘jogging’. Akibatnya selama SMA
dan Kuliah saya belum pernah sakit berat kecuali sakit kecil seperti, pilek,
sakit perut, dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar