1.
Tentang
Keluarga
Agustian
Tatogo adalah anak ke-3 dari lima
bersaudara. Saya adalah putra satu-satunya dari empat putri. Putri yang ke-4
meninggal dunia pada tahun 1996. Bapak saya seorang tukang bangunan sedangkan
ibu saya seorang ibu rumah tangga. Sejak saya masih kecil, saya diperhatikan
oleh orangtua dan dibesarkan di kampung saya, desa Uwebutu, kecamatan Paniai
Timur ( sekarang Kecamatan Epouto), Kabupaten Paniai, Provinsi Papua.
2. Pengalaman SD
Ketika saya
hidup di kampung Uwebutu, ada pengalaman baik dan juga pengalaman buruk yang
saya alami. Kedua pengalaman antara lain:
ü Pengalaman Baik
o
Di rumah, saya selalu dinasehati oleh orang tua
setiap hari, lebih-lebih sebelum tidur pada malam hari, selalu dimarahi bahkan
dipukuli orang tua atau disiram dengan air bila saya melakukan sesuatu hal yang
bertentangan dengan pikiran/pendapat orang tua.
o
Saya rajin dan tekun melaksanakan tugas yang
dibebankan oleh orang tua di rumah serta para guru di sekolah.
o
Saya selalu mendapat peringkat I atau II terus
selama saya belajar di bangku SD.
ü Pengalaman Buruk
Saat saya
masih di bangku TK, suatu hari saya bersama kakak putri pertama, Agustina kami hendak
pulang dari sekolah ke rumah. Setibanya di lapangan bola yang juga terletak di
dekat rumahku. Saya ditahan oleh beberapa teman seumur saya untuk mencari
belalang di ladang. Saya tinggal bersama teman-teman di lapangan bola sedang
kakakku pulang ke rumah. Setelah kami mencari belalang dan mendapat beberapa
belalang di ladang. Kami hendak kembali pulang ke lapangan bola. Setibanya di
lapangan bola, kami bermain pasir karena lapangan bola tersebut berpasir putih.
Teman yang umurnya lebih tua dari saya, Petrus sudah membawa busur dan anak
panah (dalam tradisi Suku Mee, anak laki-laki
diajarkan oleh bapak bahwa anak laki-laki harus melakukan sesuai dengan apa
yang diajarkan oleh ayahnya. Salah satu contoh diantaranya adalah selalu
membawa panah ke manapun dan kapanpun kecuali ke sekolah, ke gereja.
Kegunaannya:1)untuk melindungi diri dari bahaya;2)untuk
berburu hewan di hutan).
Teman-teman
lain bermain panah-panahan di lapangan tersebut sementara saya hanya bermain
pasir. Beberapa menit kemudian, Petrus yang membawa panah itu berkata kepada
saya: “Agus, coba kamu menengadah ke langit”. Ternyata dia sudah menembak panah
tersebut ke arah langit sebelum dia berkata kepada saya. Secara tidak sadar
saya langsung menengadah ke langit, panah yang sudah ditembak ke langit itu
tiba-tiba masuk atau terkena di mata kanan saya. Setelah hal-hal itu terjadi,
teman-teman menghindari, meninggalkan saya dan pulang ke rumah namun saya
tertidur di tempat itu. Pada suatu sore, seorang ibu yang sedang pulang ke
rumah dari ladangnya menemukan saya di lapangan bola dalam keadaan tertidur.
Saya dibawa oleh orang tuaku ke rumah dan istirahat. Selama tiga hari tiga
malam saya tidak makan, tidak bicara dengan orang lain bahkan dengan orang tua
pun tidak. Saya tidak mengambil sesuatupun dari pihak Petrus, misalnya denda
atau balas dendam. Namun begitu, Ayah dan kaum kerabatnya meminta denda ganti
rugi yaitu uang sebesar Rp2.000.000,- (dua juta rupiah) dan babi satu ekor.
Tujuan ayah meminta denda adalah untuk mengoperasikan mata saya yang sudah kabur.
Ayah sempat mencarikan dan mendapat seorang dokter untuk dioperasi. Namun,
dokter mengatakan: “Saya tidak punya bahan dan alat untuk beroperasi di sini”.
Kemudian, denda tersebut ayah dengan inisiasi sendiri membelanja barang-barang
jualan dan menjual di kampung saya. Uang tersebut ayah jadikan modal untuk
jualan selanjutnya.
Namun, pengalaman-pengalaman
tersebut tidak berjalan lama. Pada tahun 2001, ketika saya kelas IV SD ,
ayah saya dipilih menjadi ketua dewan paroki di Paroki St.Fransiskus Asisi
Epouto (salah satu paroki yang ada di pedalaman Nabire. Paroki tersebut
terletak + 10 km ke arah timur dari pusat kota Enarotali). Selama satu tahun,
ayah meninggalkan ibu dan kami anak-anak di Stasi Uwebutu dan ia hidup
berfoya-foya dengan perempuan lain di Paroki Epouto. Saat itulah ayah
meninggalkan semua yang menjadi tanggung jawabnya seperti:tukang bangunan,
keluarga, dsb. Pada bulan Juni 2002, ketika saya naik kelas V SD , ayah
bercerai dengan ibu saya kemudian ayah menikah dengan seorang perempuan janda (ibu tiri). Ayah dan
istri keduanya mengikuti salah satu kelompok (sekte) yang disebut dengan
kelompok budaya. Tetapi ibu saya tidak peduli dengan semuanya yang
terjadi pada keluarga barunya. Kami diusir dari rumah itu.
Hari- hari
selanjutnya yakni selama satu minggu (7 hari), kami menginap/ tidur di perahu
kecil milik ibu saya di danau Tage. Saat itu ayah saya mengusir kami, ibu dan
anak- anak dari rumah kami. Kami terpaksa tidur di perahu karena kami kesulitan
mencari tempat untuk meletakkan kepala, air menjadi selimut kami, dinginnya
angin malam menjadi teman kami selama 7 hari di perahu kecil milik ibu saya. Bila
kami mencari rumah warga untuk kami numpang nginap, bapak mengusir kami dari
rumah itu bahkan pemilik rumahnya pun sering diancam oleh bapak saya. Hal ini
membuat semua warga yang ada di kampung itu ketakutan sehingga mereka tidak mau
menerima kami lagi. Untuk makan, kami pergi ke kebun lalu membuat tungku di
tengah- tengah kebun itu lalu masak dan makan apa adanya. Hari berganti hari,
tidak terasa sudah satu minggu. Setelah satu minggu kemudian, datanglah kabar
dari paman saya yang ada di Kecamatan Tigi, sekarang Kab.Deiyai.
Keesokan
harinya, ibu saya dan kami anak-anak pindah ke kampung ibu, kecamatan Tigi
(sekarang kabupaten Deiyai) di Waghete. Di Waghetelah kampung ibu saya (marga:
Mote). Di Waghete kami tinggal bersama paman saya (saudara perempuan dari ibu
saya) se-rumah. Saya melamar di salah satu SD yakni SD YPPK St.Fransiskus
Xaverius Waghete. Saya diterima di sekolah itu dan ketika para guru melihat
kepandaianku melalui nilai raport saya, maka mereka menyuruh saya masuk di
kelas VI. Saya belajar selama satu tahun di SD. Saya mulai berteman dengan
teman-teman lain di sekolah itu. Pada saat istirahat atau jika pelajaran kosong,
saya bersama teman–teman lain pulang kerumah mereka untuk makan. Hal ini
membuat saya merasa senang, bangga terhadap teman-teman lain serta para guru.
3.
Pengalaman
SMP
Setelah lulus SD, saya melanjutkan studi saya di jenjang berikut, SMP
yaitu SMP YPPK St.Fransiskus Xaverius Waghete yang juga terletak tidak jauh
dari SD YPPK Waghete yakni kira-kira +250 meter. Saya tidak terlalu mengenal
tentang gereja/rohani pada waktu itu. Ketika tiba waktunya untuk mulai belajar
di bangku SMP, saya berpikiran untuk tidak melanjutkan studi saya karena:
ü Tidak
ada biaya, tidak ada orang yang mau membiayai saya;
ü Ayah
saya sudah “jauh” dari keluaga kami istri dan anak-anak;
ü Ibu
saya hanya seorang petani (tidak ada penghasilan) hanya kerja di ladang (kebun)
petatas saja;
ü Paman
saya juga seorang petani yang tidak punya penghasilan;
ü Kaum
kerabat pun tidak banyak yang menjadi pegawai bahkan mereka yang sudah menjadi
pegawai itu pun cukup mengurusi keluarga dan anak-anaknya saja.
Hal ini membuat keseriusan untuk belajar dan kedisiplinan saya mulai
pudar. Namun demikian, ibu saya mengajak saya untuk tetap belajar walaupun saya
tidak punya biaya sekolah. Di samping itu, teman-teman lain dan orang lain juga
memberi semangat kepada saya untuk tetap belajar. Maka, semangatku muncul dan
berkembang lagi dan saya terus belajar di kelas VII (satu) . Dari situlah saya
mulai berteman dengan teman-teman di sekolahku. Saat di SMP, pertama kali saya
berteman dengan Alfred Y. Pallai. Dia berasal dari Tanah Toraja, Sulawesi
Selatan. Orang tuanya sudah lama bertugas di Waghete. Rumah saya terletak + 4
km dari pusat kota
Waghete. Setiap hari kami selalu bersama-sama baik di rumah ataupun di sekolah.
Saya sangat senang bersamanya karena beliau selalu membawakan saya makanan,
beliau juga yang selalu memberikan saya uang seribuan atau limaribuan untuk
jajan di sekolah. Bagi saya, uang yang lebih besar dari Rp5.000,00 saya selalu
berikan pada ibu saya supaya suatu ketika saya membutuhkan, saya meminta uang
tersebut kepada ibu saya.
Alfred selalu mengajak saya ke gereja untuk berdoa (Misa). Beberapa
kali saya mengikutinya kemudian beliau mengajak saya untuk ikut sekolah minggu.
Begitu saya ikut terus, suatu ketika saya tertarik untuk masuk Misdinar (Putra
Altar). Awalnya saya tidak tahu apa itu Misdinar? Saat itulah saya mulai
mengenal tentang gereja khususnya hal-hal mengenai Misa dan juga Misdinar serta
saya belajar menyanyi dalam notasi angka. Saya termasuk anak yang selalu dekat
dengan Alfred maka setengah dari biaya SMP saya beliau yang bayar. Sejak saat
itu saya mulai mengenal para pastor (P.Eddy Anthoni,SJ dan P.Tarsisius Puspodianto,SJ)
dan Br.Norbert Mujiyana,SJ.; para dewan paroki serta para umat di Paroki
St.Yohanes Pemandi Waghete.
Kehidupan saya di rumah begitu sederhana. Setiap pagi saya hanya sarapan
petatas/ ubi jalar (bahasa Mee:Nota).
Pulang dari sekolah, dengan rasa lapar saya masak nota sendiri. Hal tersebut
demikian karena ibu dan para saudari saya pergi ke ladang untuk bekerja. Mereka
keluar pada pagi hari ke ladang dan pulang dari ladang pada sore hari sehinnga
makan siang tidak ada yang menyediakan. Setiap hari pulang sekolah, saya
mencari kayu bakar untuk rumah kami dan pada sore hari saya berangkat ke
sekolah (les sore) atau ke gereja (latihan Misdinar). Pulang dari itu, saya
sering ketakutan di dalam perjalanan. Hal ini diakibatkan karena jarak antara
rumah saya dengan pusat kota Waghete (termasuk gereja dan sekolah) cukup jauh,
apalagi jalan tersebut terdapat dua bukit dan dua lembah dan di sekitar jalan itu
berhutan. Di sekitar hutan tersebut tidak terdapat satupun rumah, tidak
terdapat pula tempat untuk istirahat atau bermain. Lantas, bila hari sudah
mulai sore/gelap, orang yang berjalan di tempat itupun berkurang apalagi pada
saat itu banyak bangunan yang sedang dibangun termasuk pembangunan bandara
internasional di Waghete. Bila kami pulang dari sekolah atau gereja pada sore
hari (hari mulai gelap), saya sering menginap di salah satu rumah keluarga di
Waghete kota. Kemudian pagi buta saya pulang ke rumah dan persiapan untuk
berangkat ke sekolah. Namun, saya selalu mendapat teguran dari ibu saya bahwa “kalau kamu pulang malam, lebih baik kamu
tidak boleh ikut misdinar atau les sore. Kasihan kami, kamu sebagai seorang
laki-laki kamu harus melindungi ibu dan saudarimu”.
Namun bagi diri saya perbuatan tersebut sangat menarik karena di
samping saya senang mengikuti Les sore di sekolah dan Latihan misdinar di
gereja, saya juga berkomunikasi dengan teman-teman lain dan juga saya
mendekatkan diri/mengenal dengan kaum kerabat saya. Karena kehidupan saya
begitu terus, maka pada tahu 2005 ketika saya kelas VII (II) SMP saya
memisahkan diri dari orang tua. Alasan saya berbuat demikian adalah:
ü Saya
ingin berkembang tidak hanya dari orang tua saja melainkan juga dari lingkungan
di sekitar saya;
ü Supaya
saya tidak kemalaman kalau pulang dari sekolah atau gereja;
ü Supaya
biaya sekolah saya tidak sepenuhnya ditanggung dari orang tua saja
melainkan juga dibantu dibiayai oleh rumah yang saya tempati.
Selama kelas II SMP, saya tinggal bersama teman kelas yang usianya sudah
mencapai 25 tahun. Dia bernama Gregorius Adii. Dia masih ada hubungan
kekeluargaan dengan saya. Ayahnya sudah meninggal dunia sedangkan ibunya selalu
sakit-sakitan. Saat Gergo (nama panggilan) masih kecil, beliau sekolah hanya SD
dan berhenti dari sekolah karena sakit parah. Pada umurnya yang begitu tua,
beliau ingin belajar dari sekolah dasar di Kelas VI sekalipun beliau belum bisa
membaca, menulis, bahkan menghitung pun tidak bisa. Ketika saya berteman dengan
beliau waktu kelas VI SD, saya selalu mengajar dia membaca, menulis, dan
menghitung. Gergo tidak malu terhadap para temannya maupun para guru di
sekolah, dan di rumah karena beliau sendirilah yang paling besar, paling tinggi
di sekolah itu bahkan sampai di SMP pun demikian. Dan ketika saya tinggal
bersama beliau di rumahnya, saya selalu mengajar beliau pada malam hari sebelum
tidur. Saya mengajar beliau semua mata pelajaran bahkan bahasa inggris pun saya
ajar walaupun saya sendiri tidak memahami secara baik.
Sesuatu yang saya punya, saya akan memberikan kepada seseorang yang
membutuhkannya. Demikian perasaan saya terhadap teman-teman di waktu SMP bahkan
sekarang pun demikian. Maka saya sering mengajar sesuatu kepada teman-teman
lain baik di sekolah maupun di luar
sekolah meskipun saya sendiri tidak terlalu pintar. Karena saya selalu ramah dalam
mengajar terhadap teman-teman, maka Tuhan membuka jalan buat saya sehingga
nilai raport saya selalu mendapat
peringkat satu (I) dari sejak kelas I semester ganjil sampai dengan kelas III
semester genap, hanya saja saya mendapat perngkat dua (II) di kelas II semester
genap. Saya selalu disenangi para guru dan teman-teman. Selain itu, saya juga disenangi
masyarakat karena setiap pulang les sore di sekolah atau latihan Misdinar di
gereja, saya selalu membantu orang membawakan noken (tas tradisional suku Mee)
yang berisi petatas mentah. Pada hari libur, Saya selalu membantu orang lain bekerja
untuk mendapat makan atau mendapat seperak uang. Saya sering membantu
mengerjakan sesuatu untuk pastor dan bruder yang ada di paroki Waghete sehingga
sehakin lama saya membantu semakin akrab dengan mereka. Pada tahun 2006 ketika
saya naik kelas IX (III) SMP, saya dipilih menjadi ketua Misdinar Paroki
St.Yohanes Pemandi Waghete. Masa jabatan saya hanya satu tahun. Kami sering mengadakan banyak kegiatan seperti:
rekoleksi, kemping rohani, pertandingan bola antar Misdinar bahkan juga lebih
besar yaitu antar Paroki.
Saya lebih dekat dengan P.Puspo,SJ, Br.Norbert,SJ baik di sekolah
maupun di pastoran. Ketika kami bertemu di pastoran, mereka selalu bertanya
tentang kehidupan saya yang sudah lewat dan harapan saya ke depan itu seperti
apa. Maka, pastor dan bruder memberi pada saya beberapa seng untuk membangun
rumah. Setelah mencari kayu balok serta papan dengan susah payah, kami
mendirikan sebuah rumah kecil namun cukup untuk kami hidup. Ketika naik ke
kelas III SMP, saya kembali kepada orang tua di rumah saya. Sementara saya
kelas I SMP, kakak putri pertama sudah kelas III SMP. Sejak itulah kakak saya
ikut pengaruh luar kemudian menikah pada usia 17 tahun. Maka, semua saudara
perempuan saya tidak sekolah, yang sekolah hanyalah saya. Saudara perempuan
yang masih sisa, mereka hanya membantu ibu mencari nafkah keseharian mereka.
Selama kelas III SMP, saya tidak tahu bahwa tujuan saya ke depan itu
seperti apa. Saya selalu ditanya oleh pastor dan bruder bahwa: “Agus mau ke
mana bila selesai dari SMP ini?” Sambil saya merenung saya hanya menjawab:
“Saya tidak tahu”. Sementara saya sedang merenung, mereka memberitahu saya
bahwa ada salah satu SMA Katolik di Nabire, yaitu SMA YPPK Adhi Luhur. “Kalau
Agus mau sekolah di SMA tersebut, Agus harus pintar, Agus punya disiplin,
bertanggung jawab” cerita mereka berganti-ganti. Setiap kali bertemu, mereka
selalu menceritakan tentang SMA Adhi Luhur. Dari situlah saya mulai mengenal
nama SMA YPPK Adhi Luhur secara baik. Suatu ketika pastor dan bruder bertanya:
“Apakah Agus punya niat untuk sekolah di Adhi Luhur?” saya hanya berpikir saja
karena tidak ada yang membiayai saya selama saya belajar di SMA YPPK Adhi
Luhur.
Selain saya mendengar hal-hal mengenai SMA Adhi Luhur oleh pastor dan
bruder, saya juga sering diceritakan oleh para alumni atau kakak-kakak yang
sedang belajar di Adhi Luhur bahwa Adhi Luhur itu orangnya pintar, orangnya
disiplin, bisa bergaul dengan siapa saja, dsb. Kemudian pastor dan bruder mengatakan:
“Agus harus masuk sekolah di SMA YPPK Adhi Luhur”. Lalu saya bertanya: “Saya akan
belajar di Adhi Luhur tetapi yang menjadi masalah adalah biaya pater,bruder?”
“Kalau Agus punya niat untuk sekolah di SMA Adhi Luhur, soal biaya jangan
takut, sendirinya akan datang” kata mereka. Sejak saat itu saya mulai merubah
pikiranku karena awalnya saya tidak mau sekolah di Adhi Luhur karena berbagai
masalah. Namun, ketika saya diceritakan mengenai SMA Adhi Luhur, saya mulai
berani dan ingin untuk masuk di SMA Adhi Luhur.
Pada hari Raya Paskah 2007, datang pula tim guru dari SMA YPPK Adhi
Luhur Nabire yaitu Bpk.Adolf Ade Bramandita.,S.Pd.
dan Fr.Fristian Julianto,SJ. ke beberapa tempat di pedalaman untuk memberi tes
tertulis dan wawancara langsung bagi siswa-siswi SMP yang masuk di SMA Adhi
Luhur. Pada malam Jumat Agung, tim guru mengumumkan bahwa pada hari Sabtu akan
dilaksanakan tes tertulis dan wawancara untuk masuk di Adhi Luhur.
Awalnya ibu saya tidak setuju kalau saya masuk di SMA YPPK Adhi Luhur.
Alasannya ibu: “Di sini siapa yang membantu ibu kalau kamu pergi ke Nabire
sedangkan saudara-saudaramu akan menikah dan tida ada yang membantu ibu. Kamu harus
sekolah di sini” kata ibu saya penuh kesal. Namun demikian, pandangan ibu saya
berbeda dengan pandangan pastor, bruder,
ketua dewan paroki (Pak Agus Pekei) serta beberapa guru SMP YPPK Waghete.
Mereka menginginkan supaya saya bisa mengikuti tes masuk Adhi Luhur pada hari
Sabtu. Malam tersebut saya tidak makan tetapi saya hanya menangis saja, memohon
kepada ibu saya supaya ibu menyetujui permohonan saya. Pada hari sabtu pagi,
saya memohon lagi sambil menangis kepada ibu saya. Ibu menyetujui permohonan
saya tetapi tidak dengan setulus hatinya. Ibu saya mengantar saya ke tempat tes
yaitu di balai TABIA Gereja Katolik St.Yohanes Pemandi Waghete dan saya
mengikuti tes tertulis dan tes wawancara. Pada bulan berikutnya saya menunggu
hasil tes masuk SMA Adhi Luhur maunpun hasil Ujian Akhir Nasional (UAN) di
sekolah. Kedua tes akhirnya lulus dan
saya pun besiap-siap berangkat ke Nabire untuk melanjutkan studi saya di
SMA YPPK Adhi Luhur.
4. Pengalaman SMA
Karena karya
Tuhan paling mulia dan Ia selalu baik kepada semua orang, maka Tuhan berbicara
lewat P.Puspo,SJ dan Br.Norbert,SJ di Waghete bahwa Agustian Tatogo harus
sekolah di SMA Adhi Luhur dan tinggal di Wisma SJ. Setelah dihubungi dengan
P.Basilius Sodibya,SJ (Lektor SMA YPPK Adhi Luhur Nabire dan juga Wisma SJ pada
saat itu) Alfred dan saya pun berangkat ke Nabire. Kami masuk di Wisma SJ (tempat
para Pastor, Folunter, para guru yang berkarya di SMA Adhi Luhur). Saya
berterima kasih kepada Tuhan dan kepada P.Puspa,SJ. dan Br.Norbert,SJ. yang
mana telah menghubungi kepada P.Bas Soedibya,SJ sehingga Alfred dan saya bisa
tinggal di Wisma,SJ.
Awalnya saya
tidak mengenal atau mengetahui bahwa kota Nabire dan juga SMA Adhi Luhur itu
seperti apa? Pada suatu hari yaitu hari Sabtu sore, saya diajak Alfred
berjalan-jalan sambil melihat SMA YPPK Adhi Luhur dan sekitarnya. Beliau
menjelaskan banyak hal tentang Nabire. Karena sebelumnya dua kali saya pergi ke
Nabire maka saya belum mengenal secara baik. Kami mengikuti POSAL (Pekan
Orientasi Siswa Adhi Luhur) yang di laksanakan di Sekolah SMA YPPK Adhi Luhur pada
hari Kamis, 12 Juli 2007 s.d. hari sabtu, 28 Juli 2007. POSAL tersebut di laksanakan
selama 17 hari. Pada waktu POSAL, kami diajarkan banyak materi, seperti:
Upacara Bendera, Pengenalan Kolese, Pengenalan Sekolah, Pengenalan Visi dan
Misi SMA YPPK Adhi Luhur, Tata Tertib Siswa, Pengenalan Kegiatan
Ekstrakulikuler, Dinamika Kelompok, Pendidikan Mental, Pendidikan Pelayanan,
Pendidikan Baris-berbaris, dan Metodologi Belajar Efektif. Pada penutupan
Posal, kami memeriakan dengan mandi bunga dan goyang bersama. Saya dinyatakan
lulus dengan predikat Cukup. Saya menyukuri semuanya itu.
Awalnya saya
tidak tahu bahwa kata “Kolese Le Cocq d’Armandville” tersebut seperti apa?
Ketika pengenalan Kolese (pada waktu POSAL) saya telah mengetahui bahwa Le Cocq
d’Armandville adalah seorang pastor Jesuit yang meninggal di Kokonao (bagian pantai
selatan Papua). Beliau adalah yesuit pertama (pastor pertama) yang masuk di
tanah Papua pada tahu 1800-an. Perubahan sikap dan mental saya adalah ketika
saya mengikuti POSAL di kompleks Adhi Luhur.
Ada pengalaman
baik dan juga pengalaman buruk selama saya mengikuti POSAL.
ü Pengalaman baik
Awalnya saya
bermalas-malasan berbuat sesuatu, saya kurang disiplin, tidak mengenal
teman-teman dari sekolah lain secara baik, saya malu terhadap teman-teman lain
dan merasa dipinggirkan oleh teman-teman lain, saya selalu tidak menepati waktu
dengan baik. Namun, ketika saya di didik di SMA YPPK Adhi Luhur saya menjadi
lebih rajin, kedisiplinan saya lebih meningkat, saya mengenal teman-teman dari
sekolah lain serta bergaul, saya jadi berani terhadap para teman. Satu hari
sebelum berakhir POSAL kami, kami makan bersama di sekolah duduk menurut kelompok. Tujuan hal tersebut
dilakukan adalah untuk mempersatukan peserta POSAL dengan rasa cinta
persaudaraan sejati antara sesama teman, tidak membeda-bedakan suku, agama, ras,
budaya, warna kulit, dll. Maka, kami makan bersama (dalam satu kelompok
dibentuk berdua-dua dan dua orang tersebut menggunakan hanya satu sendok makan
/ganti-ganti).
ü Pengalaman Buruk
Kami peserta
POSAL khususnya saya mengalami beberapa pengalaman yang menurut saya buruk.
Pengalaman tersebut saya alami ketika:
o Salah
satu orang di antara kami yang bersalah namun yang mendapat sanksi adalah
kelompok kami karena orang yang berbuat salah tersebut tidak mengaku bahwa dia
bersalah. Sanksinya adalah berlutut selama satu jam ditengah lapangan basket
yang ditebarkan sejumlah batu kerikil di atas lapangan basket tersebut pada
siang hari;
o Kami
peserta POSAL tidak bersalah sesuatupun namun kami disuruh oleh Panitia POSAL
untuk memandang ke langit dan mata tidak boleh ditutup, “Bila seorang atau
beberapa orang menutup matanya selama matamu menghadap ke langit, semua peserta
POSAL harus mendapat ganjaran” tegas kakak panitia;
o Pada
pagi hari sebelum memulai kegiatan selanjutnya, kami disuruh merayap dari
pintuh gerbang sampai di depan kantor kepala sekolah berjarak 15 meter. Hukuman
tersebut mengakibatkan kerusakan sepatu, pakaian sekolah yang sedang kami
pakai, tameng (kartu tanda pengenal), tas kresek yang sedang kami pakai.
POSAL yang
dilaksanakan di SMA YPPK Adhi Luhur ditutup dengan suatu acara besar yakni
peresmian Kapel Le Cocq d’Armandville yang terletak di sebelah selatan SMA adhi
Luhur berjarak kira-kira 20 meter. Pada peresmian kapel tersebut, beberapa
siswa yang sedang mengikuti POSAL termasuk saya ditunjuk oleh panitia POSAL
untuk menyanyikan lagu Mars Adhi Luhur di depan rombongan Imam, dan para umat
yang sedang mengikuti Misa Peresmian saat itu. Sungguh menarik acara tersebut
karena acara tersebut diundang pila bupati Nabire Bpk.Anselmus Petrus You serta
para ajudannya. Seusai Misa Peresmian Kapel Adhi Luhur, kami merayakan
peresmian kapel itu dengan acara makan bersama yakni menyantap hidangan babi
barapen (bakar batu). Tempat hidangan siang yaitu di Asrama Putra Taruna Karsa,
Jln.A.Yani Nabire.
a) Permulaan Pelajaran di SMA
Awal saya
masuk dan belajar di SMA kelas X, saya sangat malu berteman (bergaul) dengan
siswa-siswi dari sekolah (SMP) lain. Saya beranggapan bahwa mereka adalah
siswa-siswi yang benar-benar disiapkan oleh guru mereka untuk belajar di SMA
Adhi Luhur yang ketat, disiplin dan pelit nilai itu.
Mereka adalah siswa-siswi yang pandai/pintar di sekolah (SMP)nya. Saya
juga malu mendekatkan diri dengan para guru di sekolah apalagi mengobrol atau
beristirahat dengan mereka, dan saya malu bertanya bila ada materi mata
pelajaran yang saya belum memahami/mengerti kepada para guru atau teman-teman
yang lebih pintar dibandingkan saya. Saya selalu malas pergi ke perpustakaan
pada sore hari untuk belajar/membaca buku atau bacaan padahal buku-buku di perpustakaan
SMA Adhi Luhur sangat lengkap. Pengetahuan saya masih terbatas (tidak banyak)
tidak cocok untuk masuk di Adhi Luhur.
Selama kelas X
(sepuluh), dalam pelajaran apapun, saya selalu terbelakang bahkan hasil ulangan
harian dan ulangan semester selalu mendapat angka merah. Saya merenung dan memeriksa diri saya itu
seperti apa dan siapa. Mengapa saya selalu demikian dalam hal pelajaran di SMA
Adhi Luhur, padahal waktu SMP saya termasuk siswa yang berprestasi baik (saya selalu mendapat peringakat pertama di raport
saya). Dalam benak saya mencul sebuah pikiran untuk mengubah diri saya pada
suatu tindakan yang lebih baik. Dengan demikian, saya mulai berlatih (belajar)
lebih keras lagi agar mendapat nilai yang lebih optimal. Dari situlah saya
mulai belajar giat dari teman-teman saya yang lebih pintar.
b) Pertengahan
Saya yakin bahwa saya bisa seperti teman-teman
saya yang lebih pintar dari saya. Sejak kelas X saya sering mengikut Olimpiade
Sains mata pelajaran Fisika. Namun, hasilnya kurang memuaskan. Hal tersebut
terjadi pada kelas XI, saya selalu mengikuti olimpiade sains yang diadakan oleh
pusat maupun juga oleh Bpk.Yohanes Surya. Hasilnya sama seperti yang dialami
pada waktu kelas X. Namun, saya tidak menyerah pada titik itu saja melainkan
saya belajar lebih serius lagi, mempersiapkan dengan baik hingga hari tes
olimpiade tiba. Kami mengikuti tes olimpiade yang telah disiapkan oleh tim dari
pusat. Pada tes tersebut, tes pertama saya tembus dan juga pada tes kedua saya tembus. Namun pada tes ketiga, semuanya
itu tidak sesuai dengan yang saya harapkan. Suatu hal penting yang ingin aku
capai dalam tes olimpiade ini adalah bahwa aku bukan untuk mencari nilai
terbaik tetapi aku mencari suatu ilmu agar mutu dan pengetahuanku bertambah
banyak.
Selama saya sekolah di
SMA Adhi Luhur Nabire banyak kegiatan yang saya ikut antar lain: saya pernah
menjadi Koordinator Sie Perlengkapan dan Demokrasi Open House tahun 2008. Open
House adalah suatu kegiatan tahunan yang diadakan untuk membuka wawasan bagi
siswa-siswi Adhi Luhur. Open House tersebut biasa dilaksanakan setiap bulan
April. Saya pernah menjadi Koordinator Sie Keamanan Ajang Kreativitas tahun 2008. Ajang
kreativitas adalah suatu kegiatan yang diadakan oleh SMA YPPK Adhi Luhur untuk pengembangan
dan pemantapan pribadi-pribadi yang tangguh. Di sana siswa-siswi dilatih untuk berdisiplin,
kreatif dalam melakukan suatu hal/kegiatan. Ajang Kreativitas tersebut
dilaksanakan setiap bulan Juni. Saya pernah menjadi Koordinator Sie
Keamanan Festival Budaya tahun 2009.
Festival Budaya adalah suatu kegiatan
yang mengingatkan siswa-siswi Adhi Luhur untuk mengingat akan budaya, ras, suku
dan bangsa mereka di masa lalu. Di sana
ada berbagai macam tarian, makanan khas, dll. Festival Budaya tersebut biasa
dilaksanakan dua tahun sekali yaitu pada bulan September.
Selain tiga
kegiatan besar di atas, ada beberapa kegiatan sampingan antara lain sebagai
berikut: Natal Bersama, Falentine day, Hari Merdeka 17 Agustus, Hari Pahlawan 2
Mei, Bulan Kitab Suci Nasional, dsb. Ada juga beberapa extrakurikuler seperti:
Bola basket, Bola Voli, Sepak Bola, English Cocqiez (Bahasa Inggris),
Jurnalistik (Bahasa Indonesia), HIV AIDS, Warung Magis, Pramuka, Paskibra, dsb.
Selama kelas XI, saya dipilih menjadi Koordinator Sie Kebersihan Presidium Siswa Adhi Luhur tahun 2009.
c) Akhir
Studi di SMA YPPK Adhi Luhur saya selesaikan
dengan Ujian Nasional. Pada akhir belajar, saya menyelesaikan sebuah makalah
(karya ilmiah) yang bertopik “Pemanfaatan Briket dari Serbuk Kayu”. Makalah
Ilmiah tersebut saya selesaikan sebagai Ujian Praktek Bahasa Indonesia. Selain
penyelesaian makalah ilmiah tersebut, kami juga telah menyelesaikan beberapa
ujian praktik seperti: Praktek Kimia, praktek Fisika, Praktek Biologi, Praktik
Agama, Praktek Bahasa Inggris, Praktek Penjaskes.
Ujian Akhir
Nasional adalah suatu ujian yang pasti dilalui oleh seorang siswa ketika siswa
tersebut meninggalkan tempat yang ia belajar atau sekolah. Saya mengalami
sebuah ujian di akhir sekolah ini namun bukan ujian seumur hidup melainkan
sebagian dari ujian hidup saya. Pada semester I kelas XII, saya belum siap
mental dan juga pengetahuan saya untuk menghadapi ujian akhir nasional. Semester
genap: Sebelum Ujian Akhir Nasional dimulai, SMA Adhi Luhur diadakan Ujian
“Try Out” (soal Try Outnya dikirim dari SMA Kolese De Brito Yogyakarta). Hari
pertama pelajaran Bahasa Indonesia dan Biologi di susul dengan Bahasa Inggris
dan seterusnya sampai hari Sabtu. Pada hari Senin seusai ujian Try Out Bahasa
Indonesia dan Biologi, saya menyiapkan untuk esok harinya, Bahasa Inggris. Saya
ingin belajar Bahasa Inggris bersama
temanku Philipus Kobepa di rumahnya. Aku mengunjungi ke rumahnya di Bukit
Meriam pada pukul 15.25 WIT, namun sayangnya beliau tidak ada di rumah, sayapun
pulang ke Wisma tempat saya tinggal. Di tengah jalan, saya bertemu dengan
seorang yang sedang duduk di pinggir jalan. saya iba hati dan ingin
menolongnya, ketika saya bertanya tentang dirinya namun beliau tidak bisa
menjawab pertanyaan saya, mendengar pun belum bisa. Tiba-tiba dalam hatiku
muncul sebuah ide untuk bertanya kepada orang lain di sekitarnya. Ternyata
orang di sekitar itu pun tidak mengetahui tentang dirinya dan keberadaannya
serta tidak mau menanggung risikonya. Akhirnya pada jam 19.00 WIT (jam 7.00
malam) saya menghantarnya dari bukit meriam sampai di Pasar Oyehe Nabire. saya
pulang dalam hujan deras.
Akhirnya waktu
untuk belajar persiapan ujian Try Out Bahasa Inggris pada sore hari tersebut
sudah tidak ada lagi. Ada
waktu sedikit belajar hanyalah pada malam hari, itu pun sekadar lihat-lihat
saya namun belum belajar semuanya. Namun, khusus untuk pelajaran Bahasa Inggris
aku menganggapnya bisa megerjakan soal-soal dari SMA Kolese De Brito.
Demikian biografi saya selama TK-SD-SMP dan SMA
Demikian biografi saya selama TK-SD-SMP dan SMA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar