Pendahuluan
Olah
raga menjadi rutinitas kehidupan saya, khususnya olah raga bersepeda (ngepit:Jawa). Setiap hari saya luanglan
waktu untuk olah raga bersepeda. Ketika ada libur, saya luangkan waktu lebih
dari tiga jam bahkan setengah hari (12
jam) untuk berolah raga sepeda.
Bagi
saya, suatu hal yang terpenting dan terkesan dari oleh raga bersepeda itu
adalah: menyeimbangkan mental dengan fisik, menghilangkan segala macam tekanan
pikiran (menghilangkan stress). Di samping itu, saya berolah raga itu bertujuam
untuk mencari pengalaman baru, situasi baru, mencari nasib baru (entah nasib yang
memnguntungkan taupun merugikan bagi diriku).
Saya
lebih suka berolah raga ke tempat yang belum pernah lalui, termasuk ke tempat
yang jauh sekalipun, melewati lembah, perbukitan bahkan melewati gunung. Medan
demikian, bagi pengendara sepedapun agak sulit untuk melewatinya.
Perjalanan
Menuju Utara Jogja
Pada
hari Sabtu, 11 Februari 2012, pada pukul 04.30 WIB, saya bangun dan berencana
untuk olah raga bersepeda ke arah barat yakni ke Jombor. Namun, setelah saya
tiba di jalan kaliurang saya berubah pikiran dan bersepeda ke arah utara yaitu
ke kaliurang. Saya pun tiba di Pakem,
saya mempunyai keinginan untuk pergi ke Magelang. Tujuan saya ke Magelang
adalah melihat jembatan yang runtuh akibat lahar dingin gunung Merapi. Namun,
ternyata jempabatan tersebut sudah dibangun. Saya melanjutkan perjalananku ke
Magelang.
Setelah
saya tiba di daerah Muntilan, saya merasa kelelahan lalu saya berhenti untuk
istirahat sejenak. Saya membeli buah rambutan yang dijual di pinggir jalan.
Setelah saya istirahat sambil makan buah rambutan, saya pun melanjutkan
perjalananku ke Magelang. Dalam perjalanan ke Magelang, saya bertemu dengan
tiga orang yang juga sedang olah raga sepeda menuju Muntilan. Pada pukul 07.30
WIB saya tiba di alun- alun kota Magelang. Saya istirahat di alun- alun itu
sekitar satu setengah jam sambil makan buah rambutan.
Pada
pukul 09.00 WIB, saya ingin kembali ke Jogja, namun setelah tiba di Muntilan,
saya berpikiran bahwa “kalau saya kembali ke Jogja, tidak terkesan” maka saya
pun berangkat ke Borobudur untuk melihat Candi Borobudur. Maka pada pukul 10.00
WIB saya tiba di depan Candi Borobudur. Saya istirahat di luar pagar yang yang
mengelilingi Candi karena pakaian saya basah akibat keringat. Saya pun istiraht
di situ sekitar setengan jam.
Keinginan
untuk mengunjungi Gua Maria Sendangsono pun muncul di pikiran. Ide tersenut
muncul karena, kalau dari Candi Borobudur kembali ke Jogja tidak terkesan, saya
berpikir bahwa “mengapa jauh- jauh ke Magelang dan juga ke Candi Borobudur tapi
tidak mengunjungi ke Gua Maria Sendangsono, padahal jaraknya lebih dekat
daripada pulang ke Jogja (walaupun ke Sendangsono jalannya mendaki gunung)”.
Akhirnya pada pukul 10.30 WIB saya pun melanjutkan perjalanan ke Gua Maria
Sendangsono. Saya melewati daerah yang jarang ada warga artaupun rumah warga.
Uang di saku saya tersisa Rp15.000,- dari uang semula Rp20.000,-Di suatu tempat
sebelum Kalibawang, saya membeli buah rambutan yang sedang dijual di pinggir
jalan. Saya istirahat di suatu tempat karena kelelahan. Saya pun istirahat di
tempat tersebut sambil makan buah rambutan. Jika ada warga yang lewat di depan
saya, saya menawari rambutan kepada mereka namun mereka tidak menerima,
sehingga sisanya saya bawa.
Pada
pukul 12.45 WIB saya tiba di daerah Kalibawang. Saya melanjutakan perjalanan ke
arah Sendangsono. Mulai dari Kalibawang itu, jalannya mendaki. Buah rambutan
yang saya bawa itu, saya menawari kepada seorang warga setempat yang ada di
pinggir jalan, namun ia tidak menerima. Maka saya memberikannya kepada dua anak
yang sedang lewat di depan saya. Saya tiba di puncak pegunungan menuju Sendangsono.
Saya sangat kelelahan, maka saya pun berhenti dan istihat di situ sekitar satu
setengah jam. Pakaian saya basah karena keringat. Walaupun lelah, keringat serta
panas, saya tetap melanjutkan perjalananku ke Sendangsono. Saya tiba di Gua
Maria Sendangsono pada pukul 14.50 WIB. Saya menitip sepedaku di tempat
penitipan kendaraan. Saya masuk di Gua Maria Sendangsono. Saya hanya melihat-
lihat tempat ziarahnya saja sedangkan saya sendiri tidak berdoa. Setelah saya
tiba di ziarah Sendangsono, baru muncul
hujan di daerah Kulonprogo termasuk daerah sekitar Sendangsono.
Pada
pukul 15.30 WIB saya pun melanjutkan perjalananku pulang ke Jogja.
Meskipun di daerah Sendangsono sedang
hujan, saya kembali karena sudah sore. Saya mendaki gunung, Sepeda saya tuntun
karena jalannya mendaki. Sampai di puncak gunung, hujan yang tadinya deras
menjadi redah/hanya rinti- rintik, namun makin lama hujan pun berhenti. Saya
pun mulai turun gunung. Sepedaku, saya tuntun karena jalannya sangat terjal.
Pada pukul 16.15 WIB saya tiba di daerah Boroh. Saya tidak berhenti di situ
namun saya melanjutkan perjalananku karena karena hari sudah sore.
Tibalah
saya di suatu tempat di daerah Kulonprogo, saya bertanya kepada warga setempat
“Jalan ke daerah Sleman, Jogja di mana?”. Saya selalu bertanya kepada warga
yang ada di mana saya mengalami kebingungan. Salah satu hal yang membuat saya
senang dan bangga terhadap warga setempat adalah mereka selalu terbuka untuk
menunjukkan jalan atau menjawab pertanyaan yang selalu saya lontarkan pada
mereka. Akhirnya saya pun tiba di daerah Minggir lalu melewati Tempel dan tiba
di Jombor pada pukul 17.20 WIB. Lalu saya pulang kembali ke Maguwaharjo. Saya
tiba di kost Paingan pada pukul 17.50 WIB.
Penutup
Hal yang terkesan dari
pengalaman “Perjalanan Menuju ke Utara
Jogja” itu adalah sebagai berikut: pertama: saya mendapat pengalaman baru,
melihat situasi dan kondisi yang ada di daerah yang saya lewati. Kedua: melatih
otot, melatih kesehatan saya agar tetap sehat. Ketiga: mencari nasib, entah
nasib buruk atau nasib baik. Nasib buruk karena dalam penjalanan itu saya
sangat capai, lelah, panas karena teriknya matahari, namun ketika hujan
pakaianku basah semua termasuk badan saya. Di samping itu nasib baik karena
saya mendapat pengalaman baru, melihat
situasi baru yang sebelumnya belum pernah saya lewati. Selain itu, saya merasa
bangga dan senang karena ketika saya merasa kesulitan memilih jalan manakah
yang sesuai ke tempat yang saya tuju, orang lain memberi arah jalan. Saya pun
menyempatkan diri untuk berbincang dengan warga (kadang saya menggunakan bahasa
jawa) maka warga di tempat tersebut pun senang menerima saya sebagai pendatang
di daerah tersebut.
Ketika
saya hendak berangkat kemanapun, saya selau memegang salah satu pepatah kata “Malu
bertanya maka sesat di jalan”. Ini yang menjadi inti utama dalam perjalanan entah
ke mana saja. Selain itu hal yang berhubungan dengan pepatah tadi itu adalah
“Berani mangambil resiko”. Saya yang melakukan maka saya berani tanggung jawab. Hal ini tidak hanya terjadi pada olah raga
bersepeda tetapi lebih terjadi pada kehidupan saya sehari- hari.
Demikian
cerita singkat perjalanan saya munuju arah utara Jogja.
Oleh: Agustian Tatogo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar