Oleh:Agustian Tatogo
Ilustrasi jujur.doc |
Ketika saya
berkunjung ke Tawangmangu, Kab.Karanganyar, Jawa Tengah, saya naik kereta
api dari Stasiun Lempuyangan Yogyakartamenuju ke Stasiun Balapan Solo.
Sesampainya di Solo, saya tunggu angkutan bus menuju Tawangmangu. Saya
diberitahu warga Solo bahwa saya tidak perlu ke terminal bus, tetapi
cukup tunggu di pinggirjalan menuju arah Tawangmangu.
Bus
arah Tawangmangu pun tiba dan berhenti tepat di depan saya. Saya diajak
seorang penjaga pintu bus (kondektur) untuk naik bus tersebut. Saya
bertanya dulu padanya, apakah bus tersebut akan sampai ke terminal
Tawangmangu? Dia menjawab “ya, naik saja”.Saya berpikir bus tersebut
akan sampai ke terminal Tawangmangu. Akhirnya, saya pun mengikuti
petunjuk sang kondektur tersebut. Dalamperjalanan menuju Tawangmangu,
saya mengambil uang untuk bayar ongkosbus. Ketika itu kami baru tiba di
kota Karanganyar.
Saya pegang uang sebesar Rp9.000,- di
tangan. Saya pun bertanya ke kondektur, berapa ongkos bus dari Solo ke
Tawangmangu. Dia (kondektur-red) tidak menjawab pertanyaan saya, lalu
diamengambil uang yang saya pegang di tangan. Kemudian, saya
bertanya kedua kali, apakah bus akan sampai ke terminal Tawangmangu? Saat
itu bus kami sudah sampai di pertengahan jalan ke terminal Karang
Pandan. Sesampainya di terminal Karang Pandan, kondektur itu lalu
berkata pada saya, “Mas, silakan turun di sini dan naik mobil sebelah
itu untuk ke Tawangmangu”.
Sontak saya berpikir sejenak. Lah,
bukannya bus ini sampai ke terminal Tawangmangu, pikirku dalam hati.
Kalimat itu pula saya bertanya kepada sang kondektur. Sekata patah pun
dia tidak menjawab. Tetapi karena bus menuju Tawangmangu sudah ditunggu,
maka saya langsung pindah ke bus sebelah. Di bus baru tersebut,
saya bertanya kepada penumpang, yang juga biasa naik-turun
Tawangmangu, biasanya ongkos bus dari Solo ke Karang Pandan berapa? Lalu
penumpang itu pun menjawab, “Biasanya kami bayar Rp7.000,- tetapi untuk
anak sekolah biasanya Rp5.000,-“.
Hal yang ingin saya katakan
di dalam cerita ini bukan pengalaman saya berkunjung ke Tawangmangu,
bukan pula pengalaman naik bus, tetapi ini menyangkut kejujuran diri
sebagai manusia yang memiliki pikir dan hati. Rupanya sang kondektur tadi
membohongi saya. Terdapat dua hal yang dia salah tingkah sebagai seorang
kondektur. Pertama: dia tidakmengatakan tujuan bus itu, padahal di bagian depan bus bertuliskanSolo-Karanganyar-Karangpandan. Kedua: dia
tidak menjawab pertanyaan saya tentang ongkos bus dari Solo sampai
Karang Pandan, sehingga saya merasa dirugikan oleh sang kondektur tadi.
Seharusnya saya hanya membayar Rp7.000,-. Dia mengambil Rp2.000,- dari
saya dan dia merasa untung. Bukan masalah besar atau kecilnya uang yang
dia ambil, tetapi ini menyangkut kejujuran.
Pembohongan tadi
termasuk kategori mencuri. Mengapa demikian? Dia tidak jujur pada saya
dan tidak secara terbuka mengatakan hal yang sebenarnya. Uang sebesar
Rp2.000,- tidak berarti bagi saya selama saya mempunyai uang. Jika dia
meminta pada saya bahwa dia benar- benar membutuhkan uang, maka saya
bersedia berikan padanya berapa pun dia minta. Tetapi dia berniat
demikian, maka tidak heran jika saya menulisankan dalam catatan ini.
Jika kita adalah orang tua dalam sebuah keluarga dan kita bertingkah
tidak jujur terhadap orang lain, bagaimana mungkin kita bisa tanamkan
kejujuran itu pada anak- anak kita. Tidak heran, jika anak- anak zaman
sekarang jarang dididik orang orang tua (tidak semua anak).
Ketidakjujuran itu muncul ketika manusia mempunyai nafsu untuk memiliki
sesuatu hal. Tetapi, apakah kita bisa kembali ke jalanyang benar, dengan
bertingkah jujur?
----Selamat mencari kejujuran----
Tidak ada komentar:
Posting Komentar