Rabu, 30 September 2015

Tentukan Pilihan: Tidak Makan Malam atau Tidak Belajar Malam?

Oleh: Agustian Tatogo

Hari ini, hari ketiga SMA YPPK Adhi Luhur Nabire melaksanakan ujian tengah semester (UTS). Para siswa terlihat mempersiapkan diri untuk bisa menjawab soal pada saat ujian. Mereka terlihat hiruk- pikuk meminjam catatan materi pada temannya maupun bertanya materi kepada temannya yang sudah mempu memahami materi tersebut.
Selama satu minggu, para siswa Asrama Putra Taruna Karsa tidak kerja, tidak mengeluarkan keringat ataupun tidak refreshing, maka hari ini pembina meminta mareka untuk mengadakan kerja dilingkungan asrama (istilah asrama: opera siang). Operas siang ini membutuhkan waktu maksimal 30 menit untuk bekerja. Mereka diminta membersihkan sisa potongan rumput yang telah dipotong menggunakan mesin potong rumput. Pembina telah memberitahu mereka bahwa jika hari ini tidak opera siang, maka malam tidak diijinkan belajar.
Rupanya, permintaan tersebut dihiraukan oleh para siswa asrama. Mereka tidak mengadakan opera siang. Ketika pembina tanya, mereka menjawab, kami sudah membunyikan lonceng (bell) tetapi tidak semua anak kumpul jadi kami tidak opera siang. Ada anak yang tidak kumpul karena belajar persiapan esok hari.
Masalah tersebut, pada siang hari pembina diamkan saja dan menunggu hingga makan malam. Pada pukul 19.00 WIT (jam 7 malam), para siswa asrama telah menyiapkan makanan di ruang makan. Dibunyikan lonceng (bell) memberi tanda mau makan. Sebelum masuk ke ruang makan, pembina meminta mereka untuk berbaris di halaman asrama. Setelah pembina memastikan bahwa mereka tidak opera siang dengan berbagai alasan, maka pembina memberi sanksi atas kelalaian tugas tersebut. Pembina memberi dua pilihan, malam ini tidak makan atau malam ini tidak belajar?
Kedua pilihan mempunyai resiko yang sama- sama kuat. Pilihan pertama adalah tidak makan malam. Jika mereka tidak makan malam, maka semua makanan (nasi dan sayur) dibuang ke tempat sampah. Pilihan kedua adalah tidak belajar malam. Jika di antara mereka, ada yang belajar  maka buku yang dipelajari akan disobek pembina dan semua lampu di asrama dimatikan.
Setelah diberi kesempatan dua menit untuk menentukan salah satu pilihan maka mereka serentak memilih untuk tidak makan malam. Sehingga malam ini mereka belajar mempersiapkan ujian esok hari. Malam ini mereka memilih tidak makan dengan alasan bahwa besok ada tiga mata pelajaran yang diujiankan. Sehingga, jika malam ini tidak belajar maka waktunya tidak cukup untuk mempersiapkan ketiga mata pelajaran tersebut. Dengan alasan tersebut, mereka memilih tidak makan malam tetapi belajar malam. Tanpa berpikir panjang, pembina membuang semua makanan (nasi dan sayur) ke tempat sampah.
Sebagai bahan pelajaran, jika kita diberi tugas maka selesaikan tugas itu. Dalam situasi apapun, sebagai siswa sebuah komunitas (asrama) maka kita tetap melaksanakan tugas yang diberikan oleh pendamping, pembina ataupun orang tua.


Penulis adalah Pembina Asrama Putra Taruna Karsa Nabire

Senin, 28 September 2015

Siswa Asrama Tidak Melakukan Sistem Kebut Semalam (SKS)

Oleh: Agustian Tatogo

          Minggu ini, Senin sampai Sabtu, 28 September sampai 3 Oktober 2015, SMA YPPK Adhi Luhur Nabire melaksanakan Ujian Tengah Semester (UTS) atau Mid Semester (MS). UTS ini dilaksanakan untuk mengukur kemampuan para siswa akan pelajaran yang telah didapatkan pada pembelajaran di kelas selama setengah semester.
         Para siswa Asrama Putra Taruna Karsa dibiasakan untuk belajar setiap hari. Mereka dibiasakan tidak belajar sesaat sebelum ujian dilaksanakan. Mereka dibiasakan untuk tidak melakukan sistem kebut semalam (SKS) seperti kebanyakan siswa dan mahasiswa lakukan. Sistem kebut semalam yang dimaksud adalah belajar mata pelajaran yang diujiankan besok hari.
         Pada Sabtu, 26 September 2015, pembina meminta siswaasrama untuk mempersiapkan diri beberapa hari sebelum ujian. Bahkan, pembina meminta mereka untuk mempersiapkan ujian pada Sabtu sampai Minggu sore hari. Karena pada Minggu malam, para siswa asrama tidak diijinkan untuk belajar.
         Minggu malam, siswa asrama masuk ke dalam ruang studi sementara semua lampu asrama dimatikan. Dalam keadaan gelap itu, mereka diam, tidak berbicara, tidak berdiskusi, tidak bersuara, dan malam itu mereka hening. Pembina meminta mereka untuk belajar dalam pikir dan hati. Mereka diminta untuk mengingat kembali semua materi yang mereka pelajari sebelumnya di kelas.
        Seusai hening, pembina memberikan arahan kepada para siswa asrama bahwa sistem kebut semalam itu tidak efektif, tidak… efektif…. Materi yang dipelajari pada malam itu tidak semuanya dapat dipahami. Jika belajar pelajaran hanya pada hari sebelum ujian, maka materi tersebut sulit dipahami karena sistem belajar yang sangat cepat sementara materi yang dipelajari ataupun dihafalkan sangat banyak.
         Waktu pun tidak terasa sudah malam. Seperti biasanyakegiatan harian asrama bahwa pada pukul 21.30 WIB mereka masuk ke kapel untuk doa malam. Setelah doa malam, pembina meminta mereka menulis refleksi seharian selama 15 menit. Usai menulis refleksi, mereka semua tidur sementara semua ruangan di asrama dalam keadaan gelap karena semua lampu dimatikan.
         Pada Senin pagi mereka olahraga di halaman. Pembina memberikan arahan kepada siswa asrama bahwa belajar pagi hari menjelang ujian itu tidak efektif. Materi yang dipelajari sangat sulit untuk diserap oleh siswa karena banyaknya materi yang mereka harus pahami atau hafalkan. Setelah olahraga, mereka mandi untuk mengikuti misa pagi di Kapel Le Cocq d’Armandville. Seperti biasanya, setiap hari Senin, Rabu dan Jumat para siswa asrama wajib mengikuti misa.Jika pagi itu tidak mengikuti misa (tanpa alasan jelas), maka sanksinya tidak makan satu hari.
         Akhirnya, Senin pagi mereka semua ikut misa (kecuali mereka yang tugas masak). Setelah itu mereka sarapan pagi dan mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian di sekolah. Akibatnya, Minggu malam dan Senin pagi pembina menciptakan suasana agar para siswa asrama tidak melakukan sistem kebut semalam (SKS).


Penulis adalah Pembina Asrama Taruna Karsa Nabire

Jumat, 25 September 2015

HERIK WAROPEN: Saya Mau Belajar

Oleh: Agustian Tatogo

Herik Sam Waropen, itulah nama Siswa Asrama Putra Taruna Karsa Nabire. Dia berasal dari Kampung Teluk Umar, Nabire. Saat ini dia berada pada kelas X SMA YPPK Adhi Luhur Nabire. Seharusnya, saat ini dia kelas XI tetapi bertahan satu tahun pada kelas X. Keluarganya juga terlihat biasa- biasa saja. Begitu pula penghasilan keluarga yang tidak tinggi membuat Herik berpikir dua kali untuk tinggal di asrama dan bersekolah di Adhi Luhur. Dia beragama Kristen Protestan.
Hal menarik dari seorang Herik adalah pertama: dia mau tetap bertahan di kelas X Adhi Luhur meskipun mengalami kejadian pahit (tidak naik kelas). Kedua: dia masih mau bertahan di asrama. Artinya, meksipun tidak naik kelas, dia tidak merasa malu atau minder dengan kakak- kakak, teman- teman ataupun adik- adiknya. Ketiga: Asrama Putra Taruna Karsa diperuntukkan bagi siswa beragama Katholik. Mengapa demikian? Semua aturan, tata tertib, kebiasaan diberlakukan menurut agama Katholik. Setiap anak yang masuk dan tinggal di asrama ini adalah punya kewajiban mengikuti, menaati semua aturan yang dibuat oleh asrama (entah kesepakatan bersama atau dibuat oleh pembina asrama). Herik Waropen tinggal di asrama tersebut berarti dia mau menyesuaikan dan mengikuti kebiasaan di asrama tersebut.
Satu hal yang menurut saya terkesan adalah ketika dia mendapat giliran doa malam dan juga tugas pada pagi hari di Kapel Le Cocq d’Armandville. Dia mau mengikuti dan melaksanakan tugasnya, misalnya membaca bacaan (menjadi Lektor) di mimbar bacaan. Selain itu, dia mau belajar baca notasi angka pada buku Madah Bakti. Dia sering memimpin umat terutama dalam mengangkat lagu pada Misa pagi di kapel.
Ketika saya menanyakan kepada Herik, mengapa kamu mau tinggal di asrama ini, padahal keluargamu juga ada di Kalibobo? Asrama ini kan khusus untuk anak- anak yang beragama Katholik. Dan kamu Kristen Protestan, lalu mengapa kamu mau tinggal di sini? Jawabannya singkat, saya mau belajar. Jawabanya singkat tetapi maknanya sangat luas. Belajar yang dimaksud Herik adalah tidak hanya belajar mata pelajaran di sekolah. Tetapi, juga belajar hidup sebagaimana siswa asrama. Berlajar menjadi pemimpin. Menjadi pemimpin berarti kita harus mempersiapkan segala sesuatu mulai dari sekarang, belajar berorganisasi, belajar disiplin ilmu, disiplin waktu, belajar mengambil resiko dan mau mempertanggungjawabkan atas kesalahannya dan masih banyak lagi.
Apakah hanya karena berbeda agama lalu kita tidak mau menerima dia? Atau pembina hanya memilih anak- anak yang seagama dengan pembina saja? Saya rasa tidak cukup, dan jika pemikiran itu maka generasi masa depan akan hancur. Bagi saya, siapa saja yang akan masuk di asrama berarti mau mengikuti aturan, tradisi, kebiasaan, tata tertib. Saya tidak melihat dari latar belakang keluarga, penghasilan orang tua, latar belakang agama, adat- istiadat ataupun suku dan bangsa.
Selama anak itu mau belajar dan berproses di asrama, maka saya menganggapnya adalah adik saya sendiri. Jika seperti itu maka sifat kekeluargaan, kedaerahan atau kesukuan menjadi nomor dua. Hal paling penting yang saya nilai adalah semangat untuk berjuang, semangat untuk berproses  dan semangat untuk belajar meskipun pernah mengalami kejadian pahit.

Tulisan ini dipublikasikan setelah mendapat persetujuan dari objek tulisan (Herik Sam Waropen)


Penulis adalah Pembina Asrama Putra Taruna Karsa Nabire