Kamis, 11 Oktober 2012

MENGENAL MASYARAKAT PAPUA


 Sebelum melangkah lebih jauh ke dalam hasil penelitian, pada bab ini akan dijelaskan konsep-konsep mengenai aspek sosial kemasyarakatan, kelompok etnis, interaksi sosial, wilayah pemukiman, dan tumbuh kembang anak usia 1 – 5 tahun. Semua konsep tersebut secara spesifik merupakan deskripsi untuk kondisi ”orang Papua”. Pada bagian akhir dari bab ini, diberikan gambaran kondisi-kondisi untuk  masing-masing wilayah penelitian.

1. Pengertian

Banyak pihak telah menafsirkan makna kata ‘Papua’ baik secara negatif maupun positif, yang dilihat dari berbagai segi. Untuk menghindari pertentangan dan perbedaan pendapat itu, penjelasan pengertian ‘Orang Papua’ dalam tulisan ini dapat ditinjau dari segi sosial kemasyarakatan, yakni bidang politik yang ada saat ini. Kata ‘Papua’ sebagai pengganti ‘Irian Jaya’ mengandung makna yang luas, baik untuk manusia maupun wilayah daerah dan segala sesuatu yang berhubungan dengan itu. Bahasan berikut terutama ditujukan kepada manusia, yakni ‘Orang Papua’, wilayah daerah, dan hal-hal lain yang dianggap penting.
Orang Papua mengandung dua makna pokok yakni orang asli Papua dan penduduk Papua. Orang Asli Papua adalah orang yang berasal dari ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/ atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua (UU RI No. 21 Tahun 2001 Pasal 1 butir t). Selanjutnya, dalam butir (u) disebutkan bahwa Penduduk Provinsi Papua adalah semua orang yang menurut ketentuan yang berlaku terdaftar dan bertempat tinggal di Provinsi Papua.
Bahasan ‘Orang Papua’ hanya berhubungan dengan orang asli Papua secara umum dan selanjutnya akan difokuskan pada empat kabupaten yang menjadi sasaran penelitian.    

2. Kelompok Etnis

Bahasan tentang perihal sosial kemasyarakatan suku-suku bangsa di suatu wilayah pada dasarnya mencakup banyak aspek. Salah satu aspek yang sudah pasti dibahas adalah adat istiadat kelompok etnis yang ada di daerah itu. Demikian halnya bahasan sosial kemasyarakatan di “Tanah Papua” harus pula berkaitan dengan adat istiadat dan kebiasaan hidup sehari-hari.
Adat istiadat masyarakat Papua sangat beragam karena kelompok etnis di daerah ini cukup banyak jumlahnya. Kenyataan tersebut menyebabkan Dinas Kebudayaan Provinsi Papua bekerja sama dengan Universitas Cenderawasih dan Summer Institute of Linguistics (SIL) Papua (2008) telah berusaha membuat satu peta dan jumlah etnis yang diberi nama Peta Suku Bangsa di Tanah Papua. Peta tersebut memuat pengelompokan suku bangsa sebanyak tujuh wilayah adat dengan rincian berikut:
1.    Wilayah Adat I Mamta            87 suku;
2.    Wilayah Adat II Saireri            31 suku;
3.    Wilayah Adat III Bomberai     19 suku;
4.    Wilayah Adat IV Domberai     52 suku;
5.    Wilayah Adat V Anim Ha        29 suku;
6.    Wilayah Adat VI La-Pago       19 suku;
7.    Wilayah Adat VII Mi-Pago      11 suku.
Secara garis besar perlu dijelaskan wilayah-wilayah adat tersebut, yakni wilayah satu terdapat di daerah Jayapura, yakni antara Sungai Mamberamo dan sungai Tami, wilayah dua adalah daerah Teluk Cenderawasih, yakni Biak Numfor, Yapen  Waropen, sampai Teluk Wondama. Wilayah tiga mencakup daerah “Kepala Burung” yakni Manokwari – Sorong dan wilayah empat adalah Fak-Fak dan Kaimana. Wilayah lima adalah Merauke, Asmat, Boven Digul, dan Mapi. Wilayah enam yakni daerah pegunungan tengah bagian timur sampai ke daerah perbatasan negara PNG dan wilayah tujuh meliputi pegunungan tengah bagian barat sampai ke daerah Timika.
Berdasarkan data di atas, jumlah kelompok etnis secara keseluruhan di “Tanah Papua” sebanyak 248 etnis. Jumlah kelompok etnis tersebut tidak sama dengan jumlah bahasa. Menurut Summer Institute of Linguistics (SIL) (2000: 1), jumlah bahasa daerah (local language) di Tanah Papua sebanyak 263 bahasa. Belum diketahui secara pasti tentang penyebab terjadinya perbedaan itu. Apakah kelompok etnis tertentu menggunakan dua bahasa atau lebih ataukah pendataan yang telah dibuat belum tuntas? Barangkali penelitian lebih lanjut dapat menjawab kedua masalah yang ada.
Pengelompokan wilayah adat sebagaimana dikemukakan di atas pada dasarnya terkait dengan ciri-ciri adat istiadat pada setiap kelompok. Sebagai contoh, kelompok satu memiliki ciri pembeda yang menarik antara lain sistem pemerintahan tradisional yakni ‘keondoafian’, mas kawin dan adat perkawinan, kesenian, bahasa, dan unsur-unsur budaya lainnya.

3. Interaksi Sosial

a. Perkawinan dan Kekerabatan

Secara umum, orang Papua mengenal sistem perkawinan patrilineal, yakni mengikuti garis keturunan ayah. Garis keturunan ayah pada dasarnya ditandai oleh marga-marga atau klen karena itu semua orang Papua memakai nama marga di belakang nama babtis. Sebagai akibat sistem patrilineal, pihak laki-laki membayar mas kawin (mahar) kepada pihak perempuan. Hal ini disebabkan oleh adanya anggapan bahwa seorang perempuan melepaskan keluarganya dan masuk ke keluarga suaminya, harus diganti dengan pembayaran (Koentjaraningrat, 1990: 103-105).
Mas kawin setiap kelompok etnis di Papua berbeda-beda. Misalnya, kelompok Mamta, pada umumnya mereka menggunakan manik-manik dan kapak batu, wilayah Saireri mengenal piring kuno, wilayah Bomberai dan Domberai menggunakan piring kuno dan kain timor, wilayah La-Pago dan Mi-Pago dipakai sejenis kulit siput kecil dan kapak batu, wilayah Anim-Ha juga menggunakan beberapa siput kecil dan kapak batu dan alat modern seperti kain, piring, alat pertanian, dan sejenisnya.
Hubungan perkawinan bukan saja mempersatukan dua orang secara pribadi, tetapi juga dua pihak, yang akan menimbulkan hubungan kekerabatan yang lebih luas dan lebih besar. Di sini pentingnya interaksi ke dalam, baik dalam satu keluarga batih maupun keluarga besar yang ada dalam kekerabatan dua marga secara umum. Semua pihak memiliki hak dan juga kewajiban yang sudah diatur secara adat. Hak dan kewajiban merupakan salah satu alat pengikat yang tidak dapat dipungkiri sebab akan menimbulkan dampak sosial yang nyata dalam kehidupan bermasyarakat, seperti hubungan yang tidak harmonis, perceraian, sampai kematian.
Untuk memperkuat ketahanan dalam kehidupan berkeluarga yang lebih luas, satu keluarga dari klen yang sama pada umumnya tinggal bersama-sama dalam satu ‘rumah besar’ dengan keluarga-keluarga yang lain, entah mereka bersaudara atau hanya satu marga. Hal ini terjadi apabila ‘rumah besar’ itu adalah milik ‘kepala suku’ atau kepala marga. Tanggung jawab terhadap keluarga-keluarga itu memiliki berbagai versi antara lain (a) semua di bawah tanggung jawab orang tua, (b) masing-masing keluarga bertanggung jawab atas keluarganya, dan (c) hal-hal tertentu ditangani oleh orang tua dan hal tertentu pula ditangani sendiri. Butir (c) merupakan gabungan butir (a) dan (b). 
Hubungan perkawinan sebagaimana digambarkan di atas, saat ini sudah mulai bergeser secara perlahan-lahan. Misalnya, orang Papua tidak wajib untuk kawin ke dalam sehingga banyak orang sudah kawin ke luar wilayahnya, bahkan dengan orang bukan Papua. Demikian halnya mengenai tempat tinggal, sudah banyak orang Papua yang tinggal sendiri-sendiri, baik di kampungnya maupun tempat lain, seperti pindah ke kota atau ke kampung lain.

b. Hubungan Keluarga

Pada dasarnya hubungan antarkelompok untuk orang Papua di masa lalu sering menimbulkan persoalan. Hal ini disebabkan oleh adanya sifat ketakutan, saling dendam, dan kecurigaan antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Akibatnya, pada masa lalu sering timbul perampokan, pencurian, bahkan perang suku, baik antarkampung maupun antaretnis.
Bertolak dari keadaan seperti di atas, saat ini terdapat tiga macam sifat orang Papua dalam menghadapi orang luar. Pertama sifat sangat terbuka, kedua sifat terbuka bersyarat, dan ketiga sifat sangat tertutup (Fautngil, 1992: 19). Sifat terbuka artinya orang Papua dapat menerima orang luar secara bebas dan mereka bisa memberi informasi-informasi secara bebas pula apabila orang luar menghendakinya. Karena situasi politik masa lalu, beberapa kelompok etnis yang memiliki sifat terbuka, kini sedikit bergeser ke sifat kedua, yakni terbuka bersyarat. Sifat terbuka bersyarat artinya, orang Papua dapat menerima orang luar dengan baik apabila mereka menjelaskan maksud dan tujuan kehadiran mereka di daerah itu. Selain itu, mereka harus pula menunjukkan sifat-sifat yang baik misalnya rendah hati dan suka menolong serta sepak terjang mereka tidak mecurigakan. Sifat sangat tertutup adalah sifat orang Papua yang tidak mau menerima orang luar begitu saja. Artinya, orang luar itu selalu dicurigai, meskipun orang luar itu sudah berperilaku yang baik, suka menolong, rendah hati, dan tidak menunjukkan sikap-sikap yang mencurigakan.

4. Wilayah Pemukiman

“Tanah Papua” merupakan satu wilayah terluas di Indonesia, yang luasnya 421.981 Km2 dengan letak antara 1300 – 1410 Bujur Timur dan 2025’ Lintang Utara sampai 90 Lintang Selatan (Irian Jaya Dalam Angka, 1999: 3). Secara geografis, Papua memiliki dua jenis karakterisitik wilayah yang sangat kontras, yakni bagian utara berbukit-bukit dan bagian selatan berawa-rawa. Kedua wilayah itu dibatasi oleh pegunungan yang membujur dari timur --wilayah negara tetangga PNG-- ke barat sampai ‘Kepala Burung’ Provinsi Papua Barat. Pegunungan panjang itu disebut ‘Pegunungan Tengah’, yang sebagian bersalju dengan ketinggian 1000-3000 meter di atas permukaan laut.
Berdasarkan wilayah pemukiman, Papua memiliki tiga tingkatan yakni (1) wilayah pesisir pantai dan pulau-pulau dengan ketinggian 0 – 100 meter di atas permukaan laut, (2) wilayah sedang dengan ketinggian 100 – 500 meter di atas permukaan laut, dan (3) wilayah pegunungan dengan ketinggian 500 – 3000 meter di atas permukaan laut. Khusus untuk wilayah selatan yang berawa, tidak diperhitungkan berdasarkan ketinggian melainkan jarak dari pantai yakni kurang lebih 1000 meter dari garis pantai. Tingkatan pertama pada umumnya terdapat di daerah pantai dan pulau-pulau. Tigkatan kedua adalah wilayah setelah daerah tingkatan pertama dan sebelum tingkatan pegunungan.
Perbedaan tingkatan wilayah ini tidak saja disebabkan oleh keadaan geografis melainkan juga oleh hal-hal lain seperti iklim, keadaan tanah, serta fauna dan flora,  yang secara langsung mempengaruhi perilaku dan perkembangan manusia yang berdiam di wilayah itu. Sebagai contoh, wilayah pesisir pantai dan pulau-pulau memiliki suhu rata-rata 200C – 320C dan daerah pegunungan dengan suhu rata-rata di bawah 200C. 
Keadaan suhu dan tanah mempengaruhi fauna dan flora. Sebagai contoh, sagu dan kelapa hanya bisa bertumbuh di daerah pesisir pantai dan pulau-pulau sedangkan tumbuhan tersebut tidak dapat bertumbuh di pegunungan yang bersuhu dingin, yakni wilayah ketiga. Ada sejumlah tumbuhan dan binatang yang hanya ditemukan di daerah pantai sedangkan tidak ada di pegunungan atau sebaliknya hanya ada di pegunungan dan tidak ada di pantai. Kekhususan-kekhususan seperti ini membuat ‘Tanah Papua’ sangat unik, yang disebut Boelaars (1986: ix) sebagai firdaus bagi peneliti terutama ahli ilmu alam, antropologi, dan bahasa.
Suhu, tanah, fauna, dan flora memengaruhi pula perkembangan manusia yang mendiami wilayah itu. Manusia yang mendiami pesisir pantai biasanya berbadan tinggi, besar, dan kekar. Penghuni wilayah kedua berbadan sedang antara kira-kira 155 sampai 170 sentimeter. Penduduk daerah ketinggian biasanya berbadan tidak terlalu tinggi dan kadang-kadang tergolong pendek tetapi kekar dan ulet menghadapi tantangan hidup dalam lingkungannya. 
Selain lingkungan mempengaruhi perkembangan fisik, perkembangan mental dan budaya pun ikut dipengaruhi. Misalnya, kebiasaan hidup di daerah-daerah pegunungan selalu melekat pada diri mereka. Masyarakat pedalaman yang biasa mendiami daerah pegunungan, kalau berpindah ke kota atau tempat lain, mereka selalu mencari lereng-lereng bukit atau gunung sebagai tempat tinggal. Mereka tidak pernah menempati daerah pesisir pantai. Cara mencari hidup dengan berkebun. Sebaliknya, masyarakat pantai dan pulau-pulau bila pindah ke kota atau wilayah lain, mereka selalu mencari daerah pesisir atau pinggiran kali. Kelompok pesisir biasanya bermata pencaharian nelayan.   
Wilayah pegunungan biasanya tidak banyak mendapat pengaruh luar sehingga perkembangan otak mereka tidak sama dengan wilayah pesisir. Hal ini jelas dipengaruhi oleh gizi dan protein yang dikonsumsi keluarga. Keadaan seperti itu sudah tidak menjadi rahasia lagi di Papua. Suatu contoh yang nyata adalah penentuan nilai dan kelulusan di sekolah sejak dilaksanakan ujian bersama pada masa lalu. Nilai delapan di daerah pedalaman, --SMA Negeri Wamena, dalam hal ini wilayah pegunungan--, dianggap sama dengan nilai enam di SMA Negeri 1 Jayapura. Kini penilaian itu sudah sedikit bergeser, yakni nilai enam di Jayapura dianggap sama dengan nilai tujuh di daerah pedalaman. Hal ini lebih diperkuat dengan penentuan hasil ujian nasional, yang tidak pernah mencapai 100%. 


Untuk memberikan gambaran secara rinci dalam waktu yang singkat untuk topik ‘Orang Papua’, tidaklah mudah. Karena itu, untuk memberikan gambaran selayang pandang, berikut akan dikemukakan hal-hal dan sifat-sifat tertentu tentang orang Papua, di empat wilayah sampel penelitian, yakni Kabupaten Sarmi, Kabupaten Merauke, Kabupaten Nabire, dan Kabupaten Jayawijaya.

1. Kabupaten Sarmi

Letak Kabupaten Sarmi di wilayah pantai utara pulau Papua dengan ketinggian kurang dari 100 meter di atas permukaan laut. Sebelah timur Kabupaten Sarmi berbatasan dengan Distrik Unurum Guai dan Tarfia Kabupaten Jayapura, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Mamberamo. Batas sebelah utara adalah Lautan Teduh termasuk pula pulau-pulau kecil yang ada di situ dan sebelah selatan Kabupaten Puncak Jaya dan Kabupaten Tolikara. Batas ini tidak sesuai dengan peta dan keterangan Koentjaraningrat (dalam Koentjaraningrat dan Harsja W. Bachtiar, 1963: 159-160) bahwa wilayah Sarmi berbatasan dengan sungai Tor dan sungai Mamberamo. Kabupaten Sarmi terdiri atas dataran rendah di sepanjang pantai yang berpasir dan berbatu; daerah pedalaman berbukit dan bergunung-gunung. Di antara gunung-gunung itu, cukup banyak sungai baik yang besar maupun kecil. Hutan Sarmi ditumbuhi pohon-pohonan yang besar karena itu di sana banyak terdapat perusahaan-perusahaan kayu yang besar pula. Di samping kayu, tumbuh pula pohon-pohon sagu di pinggir-pinggir sungai, baik kecil maupun besar.
Di Kabupaten Sarmi terdapat lima suku besar dengan banyak sub-subsuku yang cukup banyak jumlahnya. Lima suku besar itu adalah Sobei, Armati, Rumbuai, Manirem, dan Isirawa, yang disingkat menjadi S-A-R-M-I. Suku Sobei berdiam di pantai, mulai dari barat sampai Distrik Pantai Timur Barat. Suku Armati berdiam di daerah pedalaman, sebelah selatan sampai tenggara kota Sarmi, di hulu sungai Orei (Sefa, 1995: 12). Orang Rumbai berada di Distrik Unurun Guai Kabupaten Jayapura sampai sebagian Bonggo tetapi tetap diperhitungkan sebagai bagian yang integral dari lima etnis utama di Kabupaten Sarmi. Orang Manirem berdiam di daerah Tor, yang disebut pula sebagai Berik. Orang Isirawa berdiam di sebelah barat kota Sarmi dari pantai sampai ke daerah pedalaman. Dengan dasar lima suku besar itu, lambang daerah Kabupaten Sarmi terdiri atas lima tombak, yang melambangkan kelima suku itu.
Orang Sarmi menggunakan bahasa etnisnya, yakni lima bahasa besar sesuai nama suku-suku yang telah disebutkan di atas. Lima bahasa utama itu memiliki  variasi dialektis yang cukup banyak namun belum diteliti perbedaan dan persamaannya. Kenyataan tersebut menimbulkan kesan seakan-akan adanya banyak bahasa. Tidak dapat disangkal bahwa mungkin saja variasi dialektis itu sudah mengubah beberapa varietas bahasa menjadi bahasa, namun belum diteliti.
Di samping menggunakan bahasa suku mereka, ada pula sejumlah orang yang dapat menggunakan bahasa lain, entah itu bahasa dari wilayah Sarmi maupun luar Sarmi termasuk bahasa Waropen, Biak, Indonesia, dan bahasa asing. Bahasa yang sebarannya luas di Sarmi adalah bahasa Sobei yang dipakai oleh penduduk pesisir pantai dengan berbagai variasi dialektis. Selain bahasa Sobei di pantai, bahasa yang luas sebarannya di daerah pedalaman  adalah bahasa Berik. Ada pula sejumlah bahasa lain, yakni Isirawa, Kwerba, Kwesten, Mander, Foya, dan Papasena di hulu kali Mamberamo.
Orang asli Sarmi termasuk kelompok etnis yang terbuka bersyarat, yakni mereka menerima orang luar dengan syarat-syarat sebagaimana dikemukakan di atas. Mereka juga kini menerima perubahan dari luar dengan baik. Banyak pula di antara mereka sudah datang dan tinggal di Jayapura untuk bersekolah. Orang Sarmi telah bekerja sebagai pegawai negeri, TNI-Polri, wiraswasta dan pengusaha yang berhasil. Orang Sarmi yang tinggal di kampung pada umumnya sebagai petani dan nelayan. Ada pula yang bekerja sebagai pegawai negeri, yakni guru, pegawai distrik, dan kabupaten.
Sebagian besar penduduk Sarmi tinggal di pinggir-pinggir pantai dan sungai. Ada pula yang bermukim di pulau-pulau kecil. Rumah-rumah mereka merupakan rumah panggung dengan lantai papan dan kayu. Kini perumahan mereka dibangun oleh pemerintah kabupaten di pinggir-pinggir jalan besar dengan konstruksi beton.
Mata pencaharian orang Sarmi adalah bertani dengan pola pertanian yang berpindah-pindah, terutama untuk orang pedalaman. Penduduk pantai selain bertani, pekerjaan nelayan dapat pula dijalani untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pada umumnya mereka mencari nafkah hanya untuk makan sehari dua hari sebab alam mereka cukup kaya dengan makanan. Di laut dan di air sungai terdapat banyak ikan, di darat banyak sagu yang dapat diambil setiap saat.

2. Kabupaten Merauke

Wilayah kabupaten Merauke sebetulnya sangat luas, tetapi telah dimekarkan tiga kabupaten baru, yakni Kabupaten Asmat, Kabupaten Boven Digul, dan Kabupaten Mapi, sehingga kabupaten induk yakni Kabupaten Merauke sudah tidak luas lagi. Batas-batas Kabupaten Merauke dijelaskan sebagai berikut. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Boven Digul dan Kabupaten Mapi, sebelah selatan berbatas dengan Selat Tores, sebelah timur berbatasan dengan Negara tetangga PNG, dan sebelah barat berbatasan dengan Laut Aru. Wilayah Kabupaten Merauke merupakan dataran rendah karena tidak ada bukit dan gunung. Daerahnya berpasir dan berlumpur, terutama di muara-muara kali. Tidak ada batu di sana. Ketinggian tidak mencapai 100 meter di atas permukaan laut, bahkan menurut catatan (Irian Jaya dalam Angka, 1999: 3), ketinggian Kabupaten Merauke hanya mencapai 3,5 meter di atas permukaan laut.
Beberapa kelompok etnis yang berdiam di Kabupaten Merauke antara lain sebagai berikut Bian-Marind, Marin Anim, Yelmek, Kimaam, Kanum, Yei, Maklew, Mombum, Moriori, dan Kimaghima. Selain Kimaam, Mombum, Kimaghama, Ndom, dan Riantana, semua etnis lain menggunakan bahasa Marind dengan berbagai ragam dan dialek. Dengan demikian, bahasa Marind sangat luas daerah pakainya di Kabupaten Merauke. Di samping bahasa Marind, terdapat pula bahasa-bahasa lain terutama di Pulau Yos Sudarso Kimam seperti Koneraw, Mombum, Kimaghama, Ndom, dan Riantana.
Orang asli Papua di Kabupaten Merauke memiliki sifat terbuka bersyarat dalam kaitan hubungan biasa dengan orang luar, tetapi sangat tertutup untuk keperluan penelitian. Hal ini dikaitkan dengan beberapa peneliti yang pernah membuat penelitian di sana, ternyata sangat sulit mendapat informasi yang benar. Penduduk setempat beranggapan bahwa penelitian itu mengambil kekayaan budaya sehingga mereka tidak mau terbuka. Namun demikian, setelah mereka mengetahui bahwa orang luar itu hanya sekedar berdiam bersama-sama, pada umumnya kelompok etnis yang ada di sana baik hubungannya dengan orang lain itu. 
Orang Marind berprofesi sebagai petani dan nelayan. Mereka tidak banyak menjadi pegawai negeri padahal mereka tinggal dekat kota. Hal ini diakibatkan oleh lingkungan alam yang memanjakan penduduk setempat. Orang Papua Marind tidak sulit mencari makan karena di darat tumbuh dusun-dusun sagu dengan tanah yang subur, di laut dan di kali terdapat banyak ikan, udang, dan kepiting. Pola pertanian mereka adalah lading dengan sistem berpindah-pindah. Ada pula di antara mereka sudah mengerjakan sawah untuk padi setelah adanya pengaruh dari luar, yakni kelompok transmigrasi nasional dari Jawa, Bali, NTT, dan daerah lainnya.

3. Kabupaten Nabire

Wilayah Kabupaten Nabire berada di bawah Pemerintah Provinsi Papua dengan batas-batas wilayah sebagai berikut. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Kaimana dan Kabupaten Teluk Wondama, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Lani Jaya dan Kabupaten Nduga. Sebelah utara, Kabupaten Nabire berbatasan dengan laut Teluk Cenderawasih dan di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Mimika.     
Daerah Nabire terdiri atas gunung-gunung dan pantai yang berpasir serta berbatu. Ketinggian wilayah tidak melebihi 1000 meter di atas permukaan laut. Banyak pohon besar bertumbuh di daerah itu di samping sagu di pinggir-pinggi sungai dan rawa-rawa.
Terdapat lima kelompok etnis yang mendiami Kabupaten Nabire. Kelompok-kelompok etnis itu adalah Iresim, Mor, Tunggare, Yaur, dan Mapia. Bahasa terbesar yang digunakan oleh penduduk setempat adalah bahasa Me atau dalam kepustakaan yang disebut sebagai bahasa Ekagi. Bahasa-bahasa lain yang ada di Nabire adalah bahasa Mor, Waropen, Iresim, Yaur, Auye, Moni, Wolani, Tause, Fayu, dan lain-lain (Silzer dan H.H. Clouse, 1991: 17).
Orang Papua Nabire termasuk kelompok etnis yang bersifat terbuka bersyarat karena mereka dapat menerima orang luar dengan baik apabila mereka tahu maksud dan tujuan orang luar itu. Penduduk Kabupaten Nabire saat ini sudah sangat heterogen, terutama dengan datangnya transmigran nasional dari luar Papua. Mereka sudah hidup berdampingan dengan orang luar sehingga kini sebagian di antara mereka sudah sangat terbuka. Sudah banyak pula orang Nabire yang merantau keluar daerahnya.
Sampai dasawarsa 60-an, orang Nabire belum banyak bersekolah ke luar daerahnya. Tetapi, setelah tahun 70-an, cukup banyak orang Nabira, yang dalam hal ini diwakili oleh orang Me bersekolah ke luar, terutama ke Jayapura. Sampai saat ini cukup banyak orang Me yang memegang jabatan penting terutama di Kabupaten Nabire.

4. Kabupaten jayawijaya

Sebelum zaman reformasi di tanah air, Kabupaten Jayawijaya dengan ibukota Wamena merupakan salah satu kabupaten terluas dan terbesar di Papua. Namun kini, wilayah itu telah dimekarkan menjadi 10 kabupaten, sehingga kabupaten induk sudah sangat terbatas wilayahnya, yakni hanya seputar Lembah Baliem saja. Kabupaten Jayawijaya berbatasan dengan beberapa kabupaten sebagai berikut. Sebelah utara Kabupaten Jayawijaya adalah Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Sarmi, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Asmat. Sebelah barat, Kabupaten Jayawijaya berbatasan dengan Kabupaten Mimika dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Pegunungan Bintang.
Wilayah Jayawijaya merupakan satu lembah terbesar di daerah pegunungan tengah ‘Tanah Papua.’ Sehubungan dengan itu, banyak istilah diperuntukan baginya antara lain Lembah Baliem atau ‘Lembah Agung.’ Daerah pinggiran lembah itu merupakan gunung-gunung tinggi, baik timur, barat, utara, maupun selatan. Bagian bawah lembah, tumbuh pohon-pohonan dan bagian puncak sebagian bergundul atau kalau ditumbuhi pohon, sudah tidak tinggi lagi pohon-pohon itu.
Kelompok etnis yang berdiam di Kabupaten Jayawijaya sebanyak empat, yakni Lani, yang dalam kepustakaan lain disebut dengan Dani, Nduga, Hubula, dan Walak. Etnis terbesar adalah Lani, sebab selain di lembah, etnis Lani berdiam pula di luar lembah seperti Dani Barat.
Orang Lani termasuk kelompok yang tertutup karena sangat sulit orang luar dapat memperoleh informasi dari mereka. Mereka juga sangat mencurigai orang-orang luar. Sikap-sikap seperti ini dapat dimengerti karena sering terjadi perang suku di antara mereka. Perang antarsuku sampai saat ini masih dijumpai di etnis-etnis tertentu di Papua terutama etnis-etnis yang ada di daerah pedalaman. Walaupun keadaannya demikian, tetapi banyak pula yang sudah menuntut ilmu ke luar daerahnya, yakni di Papua dan luar Papua. Banyak pula sudah berpendidikan tinggi, --sarjana--, sehingga telah menduduki jabatan-jabatan penting di daerahnya dan juga daerah lain di Papua.
Apa yang unik dari tumbuh kembang anak Papua usia 1 sampai 5 tahun? Menjawab keunikan ini dapat dimulai dari apa yang terjadi pada anak Papua usia 1 sampai 5 tahun itu sendiri, atau apa yang terjadi dengan tumbuh kembang anak Papua di atas usia 1-5 tahun? Penjelasan tumbuh kembang anak Papua di atas 5 tahun akan menjadi potret bagaimana memahami tumbuh kembang anak Papua usia 1-5 tahun. Para ahli mengemukakan bahwa usia 1-5 tahun sangat menentukan periode berikutnya, bahkan kegagagalan penyesuaian diri dengan lingkungan pada periode-perode tugas perkembangan di atasnya menurut kaum Freudian disebabkan oleh tidak maksimalnya realisasi tugas-tugas perkembangan pada periode pertama tumbuh kembang anak usia usia 1-5 tahun.
Menarik untuk dibahas lebih awal tumbuh kembang anak Papua usia di atas 5 tahun sebelum dijelaskan tentang tumbuh kembang anak Papua usia 1-5 tahun. Usia ini secara umum ditandai dengan situasi baru di mana anak Papua untuk pertama kali menginjakkan kakinya di lingkungan sekolah dasar dan jenjang pada satuan pendidikan berikutnya. Perilaku usia ini ditandai oleh sejumlah potensi untuk menerima intervensi dari luar seperti kosa kata terus bertambah di atas 10.000 kata dan terampil dalam menggunakan aturan sintaksis, keahlian bercakap meningkat, definisi kata mencakup sinonim, strategi berbicara terus bertambah, kosa kata bertambah dengan kata-kata abstrak, pemahaman bentuk tata bahasa kompleks, pemahaman fungsi kata dalam kelimat, memahami metafora dan satire, dan dapat memahami karya sastra dewasa (Bloom, 1998; Foley & Thompson, 2002). Sementara di pihak lain pada periode usia ini juga ditandai oleh meningkatnya kemampuan berpikir seperti bernalar secara logis tentang kejadian-kejadian konkret dan mampu mengklasifikasi ke dalam kelompok yang berbeda-beda,  dan pada saat usia remaja hingga dewasa telah memiliki kemampuan berpikir secara lebih abstrak, realistis, dan logis (Piaget & Inhelder, dalam Santrock, 2007).
Usia ini sangat membutuhkan kerjasama dari semua pihak termasuk kerjasama orangtua dengan pihak sekolah. Epstein dkk., (2002) mendeskripsikan 6 area di mana hubungan keluarga dan sekolah dapat dibentuk. Pertama, menyediakan bantuan untuk keluarga. Sekolah dapat menyediakan informasi tentang (1) keterampilan mengasuh anak, (2) arti penting hubungan keluarga, (3) perkembangan anak dan remaja, (4) konteks rumah yang memperkaya pembelajaran di kelas, (5) guru sebagai titik kontak sekolah dan keluarga, dan (6) guru dapat mengetahui apakah keluarga telah memenuhi kebutuhan fisik dari kesehatan anak-anak. Kedua, berkomunikasi secara efektif dengan keluarga mengenai program sekolah dan kemajuan anak mereka, undang orangtua untuk bertemu guru sebelum kegiatan pembelajaran dimulai, kirim hasil belajar anak ke rumah dengan beberapa catatan penting, di sekolah yang memiliki system telepon terkomputerisasi, rekamlah pesan tentang unit belajar anak seperti PR dan tugas-tugas lainnya yang dapat diakses oleh orangtua di rumah. Ketiga, ajak orangtua menjadi relawan seperti pelatihan, pekerjaan yang sesuai dengan keahlian mereka. Keempat, libatkan keluarga dengan anak mereka dalam aktivitas belajar di rumah. Kelima, Libatkan keluarga sebagai partisipan dalam keputusan sekolah, dan Keenam, mengkoordinasikan kerjasama komunitas seperti sumber daya komunitas bisnis, agen, perguruan tinggi untuk meningkatkan program sekolah ke depan.   
Perjalanan tumbuh kembang anak Papua usia di atas 6 tahun ternyata mengalami pasang surut. Berbagai sumber diperoleh fakta bahwa semestinya pada periode ini anak usia ini telah menerima intervensi dari lingkungan persekolahan, tetapi ternyata pada periode ini banyak faktor penghambat yang turut menyumbang ketertinggalan anak pada dunia pendidikan dan lain sebagainya, di samping tentunya adanya factor penunjang. Seorang anak menulis surat kepada Gubernur Provinsi Papua sebagai bentuk ungkapan kerinduan untuk mendapatkan pendidikan selayaknya anak usianya yang berada di kota.  Isinya: “berharap di pemerintah dapat menambah jumlah guru di sekolahnya dan membangun laboratorium komputer agar dapat meningkatkan kualitas belajar seperti siswa lain yang lebih dulu maju, sementara seorang siswa lainnya memohon melalui Gubernur agar di desanya dibangun aliran listrik dan ditambah tenaga dokter dan perawat agar diperoleh kemudahan pelayanan kesehatan yang layak”. (Jayapura. Kompas.com. 11 Sept 2009). Pada bagian lain, Theresia ES, guru SD di Boven Digoel mengemukakan bahwa “di Distrik Kimam Merauke, dari 34 SD hanya 6 sekolah yang mengikuti ujian akhir Mei 2007. Selebihnya sekolah tak mengikuti ujian karena tak beroperasi. Jika bukan karena guru kabur, anak didik ikut orangtua masuk hutan” (Kompas, Nov. 2008).
Gubernur Papua dalam kesempatan lain mengemukakan bahwa “anak Papua sulit mengakses pendidikan karena kurang mampu secara ekonomi dan tak mendapat kesempatan menikmati hal-hal yang dirasakan anak-anak umumnya. Gubernur menegaskan pula bahwa di pedalaman, pesisir pantai, dan pulau-pulau terpencil masih banyak anak bekerja keras membantu orangtua untuk mempertahankan hidup. Mereka tak berkesempatan mengenyam pendidikan, bermain, dan mengembangkan diri karena keterbatasan. Kualitas hidup, kesehatan, dan pendidikan yang rendah menjadi bagian kehidupan mereka. Tak pelak, hal itu mempengaruhi kualitas sumber daya mereka dan kulitas sumber daya manusia secara umum” (Kompas.com. 18 Sept 2009).
Pernyataan ini sejatinya merupakan keadaan nyata dari hambatan kemajuan di bidang pendidikan, kesehatan dan infrastruktur lainnya di Provinsi Papua, yang pada akhirnya ikut menghambat kemajuan anak-anak Papua usia di atas 6 tahun yang mendambakan pendidikan berkualitas sebagai pintu masuk menuju masa depan Papua baru. Jelaslah sekarang bahwa anak Papua usia di atas 6 tahun dalam berbagai kasus banyak mengahadapi kendala dalam pendidikan, kesehatan dan bidang kehidupan lainnya.
Gambaran keadaan pendidikan, kesehatan, dan bidang kehidupan lainnya di Provinsi Papua sebagaimana dikemukakan di atas logikanya akan berpengaruh buruk terhadap tugas-tugas perkembangan anak usia 6 tahun ke atas sebagaimana di jelaskan sebelum ini. Jika demikian halnya, maka diperlukan langkah cerdas, cepat, dan strategis yang perlu dilakukan agar tidak terjadi kembali kepada anak usia 1-5 tahun yang akan menjalani kehidupannya di provinsi ini.
Kembali kepada anak Papua usia 1-5 tahun. Jika terdapat fenomena hambatan pendidikan, kesehatan dan bidang kehidupan lainnya pada tumbuh kembang anak Papua di atas usia 6 tahun, bagaimana dengan anak Papua usia 1-5 tahun. Pertanyaannya apakah generasi ini akan mengalami hal yang sama dengan generasi di atasnya? Jawabannya tentu tidak. Anak usia 1-5 tahun menurut Piaget & Inhelder, dalam Santrock, 2007 dan Bloom, 1998; Foley & Thompson, 2002; berada pada tahap sensorimotor, dan tahap pra operasional, di mana pada tahap sensorimotor bayi menyusun pemahaman dunia dengan mengoordinasikan mengalaman indra (sensory) mereka seperti melihat dan mendengar dengan gerakan motor (otot) untuk menggapai atau menyentuh. Sedangkan pada tahap pra operasional di mana yang sangat menonjol pada tahap ini adalah kemampuan egosentris dan intuitif ketimbang logis. Selanjutnya pada pada usia ini kemampuan bahasa yang dominan adalah membunyikan suara (sekedar bersuara), membedakan huruf hidup, berceloteh, celoteh bertambah degan mencakup suara dari bahasa ucap, isyarat digunakan untuk mengomunikasikan suatu objek, kata pertama diucapkan, rata-rata memahami 50 kosa kata lebih, kosa kata akan terus bertambah sampai rata-rata 200 buah, kombinasi dua kata, kosa kata bertambah cepat, penggunaan bentuk jamak secara tepat, penggunaan kata lampau, penggunaan beberapa preposisi atau awalan, rata-rata panjang ucapan naik dari 3 sampai 4 morfem per kalimat, menggunakan pertanyaan ya atau tidak dan pertanyaan mengapa, di mana, siapa, kapan, menggnakan bentuk negative dan perintah, pemahaman pragmatis terus bertambah  (Piaget & Inhelder, dalam Santrock, 2007).
Potensi tumbuh kembang anak Papua usia 1 sampai dengan 5 tahun merupakan generasi anak Papua yang sudah sepantasnya mendapat perlindungan terutama yang berkaitan dengan kesiapan orang tua untuk menyekolahkan anaknya, dan upaya pemeliharaan kesehatan keluarga (ibu-anak) dan kebutuhan hidup lainnya. Dengan demikian maka tidak akan terjadi pengulangan kegagalan sebagaimana yang terjadi pada anak-anak Papua usia di atas enam tahun. 

Oleh: Hery Setiawan, SJ.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar