Sebelum melangkah lebih jauh ke dalam hasil penelitian, pada bab ini akan
dijelaskan konsep-konsep mengenai aspek sosial kemasyarakatan, kelompok etnis,
interaksi sosial, wilayah pemukiman, dan tumbuh kembang anak usia 1 – 5 tahun.
Semua konsep tersebut secara spesifik merupakan deskripsi untuk kondisi ”orang
Papua”. Pada bagian akhir dari bab ini, diberikan gambaran kondisi-kondisi
untuk masing-masing wilayah penelitian.
1. Pengertian
Banyak pihak telah menafsirkan makna kata ‘Papua’ baik secara negatif
maupun positif, yang dilihat dari berbagai segi. Untuk menghindari pertentangan
dan perbedaan pendapat itu, penjelasan pengertian ‘Orang Papua’ dalam tulisan
ini dapat ditinjau dari segi sosial kemasyarakatan, yakni bidang politik yang
ada saat ini. Kata ‘Papua’ sebagai pengganti ‘Irian Jaya’ mengandung makna yang
luas, baik untuk manusia maupun wilayah daerah dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan itu. Bahasan berikut terutama ditujukan kepada manusia,
yakni ‘Orang Papua’, wilayah daerah, dan hal-hal lain yang dianggap penting.
Orang Papua mengandung dua makna pokok yakni orang asli Papua dan penduduk
Papua. Orang Asli Papua adalah orang yang berasal dari ras Melanesia yang
terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/ atau orang yang diterima dan
diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua (UU RI No. 21 Tahun
2001 Pasal 1 butir t). Selanjutnya, dalam butir (u) disebutkan bahwa Penduduk
Provinsi Papua adalah semua orang yang menurut ketentuan yang berlaku terdaftar
dan bertempat tinggal di Provinsi Papua.
Bahasan ‘Orang Papua’ hanya berhubungan dengan orang asli Papua secara umum
dan selanjutnya akan difokuskan pada empat kabupaten yang menjadi sasaran
penelitian.
2. Kelompok Etnis
Bahasan tentang perihal sosial kemasyarakatan suku-suku bangsa di suatu
wilayah pada dasarnya mencakup banyak aspek. Salah satu aspek yang sudah pasti
dibahas adalah adat istiadat kelompok etnis yang ada di daerah itu. Demikian
halnya bahasan sosial kemasyarakatan di “Tanah Papua” harus pula berkaitan
dengan adat istiadat dan kebiasaan hidup sehari-hari.
Adat istiadat masyarakat Papua sangat beragam karena kelompok etnis di
daerah ini cukup banyak jumlahnya. Kenyataan tersebut menyebabkan Dinas Kebudayaan
Provinsi Papua bekerja sama dengan Universitas Cenderawasih dan Summer Institute of Linguistics (SIL)
Papua (2008) telah berusaha membuat satu peta dan jumlah etnis yang diberi nama
Peta Suku Bangsa di Tanah Papua. Peta tersebut memuat pengelompokan suku bangsa
sebanyak tujuh wilayah adat dengan rincian berikut:
1. Wilayah Adat I Mamta 87 suku;
2. Wilayah Adat II Saireri 31 suku;
3.
Wilayah Adat III Bomberai 19 suku;
4.
Wilayah Adat IV Domberai 52 suku;
5. Wilayah Adat V Anim Ha 29 suku;
6.
Wilayah Adat VI La-Pago 19 suku;
7.
Wilayah Adat VII Mi-Pago 11 suku.
Secara garis besar perlu dijelaskan
wilayah-wilayah adat tersebut, yakni wilayah satu terdapat di daerah Jayapura,
yakni antara Sungai Mamberamo dan sungai Tami, wilayah dua adalah daerah Teluk
Cenderawasih, yakni Biak Numfor, Yapen
Waropen, sampai Teluk Wondama. Wilayah tiga mencakup daerah “Kepala
Burung” yakni Manokwari – Sorong dan wilayah empat adalah Fak-Fak dan Kaimana.
Wilayah lima
adalah Merauke, Asmat, Boven Digul, dan Mapi. Wilayah enam yakni daerah
pegunungan tengah bagian timur sampai ke daerah perbatasan negara PNG dan
wilayah tujuh meliputi pegunungan tengah bagian barat sampai ke daerah Timika.
Berdasarkan data di atas, jumlah
kelompok etnis secara keseluruhan di “Tanah Papua” sebanyak 248 etnis. Jumlah
kelompok etnis tersebut tidak sama dengan jumlah bahasa. Menurut Summer Institute of Linguistics (SIL)
(2000: 1), jumlah bahasa daerah (local
language) di Tanah Papua sebanyak 263 bahasa. Belum diketahui secara pasti
tentang penyebab terjadinya perbedaan itu. Apakah kelompok etnis tertentu
menggunakan dua bahasa atau lebih ataukah pendataan yang telah dibuat belum
tuntas? Barangkali penelitian lebih lanjut dapat menjawab kedua masalah yang
ada.
Pengelompokan wilayah adat sebagaimana
dikemukakan di atas pada dasarnya terkait dengan ciri-ciri adat istiadat pada
setiap kelompok. Sebagai contoh, kelompok satu memiliki ciri pembeda yang
menarik antara lain sistem pemerintahan tradisional yakni ‘keondoafian’, mas kawin
dan adat perkawinan, kesenian, bahasa, dan unsur-unsur budaya lainnya.
3. Interaksi Sosial
a. Perkawinan dan Kekerabatan
Secara umum, orang Papua mengenal sistem perkawinan patrilineal, yakni
mengikuti garis keturunan ayah. Garis keturunan ayah pada dasarnya ditandai
oleh marga-marga atau klen karena itu semua orang Papua memakai nama marga di
belakang nama babtis. Sebagai akibat sistem patrilineal, pihak laki-laki
membayar mas kawin (mahar) kepada pihak perempuan. Hal ini disebabkan oleh
adanya anggapan bahwa seorang perempuan melepaskan keluarganya dan masuk ke
keluarga suaminya, harus diganti dengan pembayaran (Koentjaraningrat, 1990:
103-105).
Mas kawin setiap kelompok etnis di Papua berbeda-beda. Misalnya, kelompok
Mamta, pada umumnya mereka menggunakan manik-manik dan kapak batu, wilayah
Saireri mengenal piring kuno, wilayah Bomberai dan Domberai menggunakan piring
kuno dan kain timor, wilayah La-Pago dan Mi-Pago dipakai sejenis kulit siput
kecil dan kapak batu, wilayah Anim-Ha juga menggunakan beberapa siput kecil dan
kapak batu dan alat modern seperti kain, piring, alat pertanian, dan
sejenisnya.
Hubungan perkawinan bukan saja mempersatukan dua orang secara pribadi,
tetapi juga dua pihak, yang akan menimbulkan hubungan kekerabatan yang lebih
luas dan lebih besar. Di sini pentingnya interaksi ke dalam, baik dalam satu
keluarga batih maupun keluarga besar yang ada dalam kekerabatan dua marga
secara umum. Semua pihak memiliki hak dan juga kewajiban yang sudah diatur
secara adat. Hak dan kewajiban merupakan salah satu alat pengikat yang tidak
dapat dipungkiri sebab akan menimbulkan dampak sosial yang nyata dalam
kehidupan bermasyarakat, seperti hubungan yang tidak harmonis, perceraian,
sampai kematian.
Untuk memperkuat ketahanan dalam kehidupan berkeluarga yang lebih luas,
satu keluarga dari klen yang sama pada umumnya tinggal bersama-sama dalam satu
‘rumah besar’ dengan keluarga-keluarga yang lain, entah mereka bersaudara atau
hanya satu marga. Hal ini terjadi apabila ‘rumah besar’ itu adalah milik ‘kepala
suku’ atau kepala marga. Tanggung jawab terhadap keluarga-keluarga itu memiliki
berbagai versi antara lain (a) semua di bawah tanggung jawab orang tua, (b)
masing-masing keluarga bertanggung jawab atas keluarganya, dan (c) hal-hal
tertentu ditangani oleh orang tua dan hal tertentu pula ditangani sendiri.
Butir (c) merupakan gabungan butir (a) dan (b).
Hubungan perkawinan sebagaimana digambarkan di atas, saat ini sudah mulai
bergeser secara perlahan-lahan. Misalnya, orang Papua tidak wajib untuk kawin
ke dalam sehingga banyak orang sudah kawin ke luar wilayahnya, bahkan dengan
orang bukan Papua. Demikian halnya mengenai tempat tinggal, sudah banyak orang
Papua yang tinggal sendiri-sendiri, baik di kampungnya maupun tempat lain,
seperti pindah ke kota atau ke kampung lain.
b. Hubungan Keluarga
Pada dasarnya hubungan antarkelompok untuk orang Papua di masa lalu sering
menimbulkan persoalan. Hal ini disebabkan oleh adanya sifat ketakutan, saling
dendam, dan kecurigaan antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain.
Akibatnya, pada masa lalu sering timbul perampokan, pencurian, bahkan perang
suku, baik antarkampung maupun antaretnis.
Bertolak dari keadaan seperti di atas, saat ini terdapat tiga macam sifat
orang Papua dalam menghadapi orang luar. Pertama sifat sangat terbuka, kedua
sifat terbuka bersyarat, dan ketiga sifat sangat tertutup (Fautngil, 1992: 19).
Sifat terbuka artinya orang Papua dapat menerima orang luar secara bebas dan
mereka bisa memberi informasi-informasi secara bebas pula apabila orang luar
menghendakinya. Karena situasi politik masa lalu, beberapa kelompok etnis yang
memiliki sifat terbuka, kini sedikit bergeser ke sifat kedua, yakni terbuka
bersyarat. Sifat terbuka bersyarat artinya, orang Papua dapat menerima orang
luar dengan baik apabila mereka menjelaskan maksud dan tujuan kehadiran mereka
di daerah itu. Selain itu, mereka harus pula menunjukkan sifat-sifat yang baik
misalnya rendah hati dan suka menolong serta sepak terjang mereka tidak
mecurigakan. Sifat sangat tertutup adalah sifat orang Papua yang tidak mau
menerima orang luar begitu saja. Artinya, orang luar itu selalu dicurigai,
meskipun orang luar itu sudah berperilaku yang baik, suka menolong, rendah
hati, dan tidak menunjukkan sikap-sikap yang mencurigakan.
4. Wilayah Pemukiman
“Tanah Papua” merupakan satu wilayah terluas di Indonesia, yang luasnya
421.981 Km2 dengan letak antara 1300 – 1410
Bujur Timur dan 2025’ Lintang Utara sampai 90 Lintang
Selatan (Irian Jaya Dalam Angka, 1999: 3). Secara geografis, Papua memiliki dua
jenis karakterisitik wilayah yang sangat kontras, yakni bagian utara
berbukit-bukit dan bagian selatan berawa-rawa. Kedua wilayah itu dibatasi oleh
pegunungan yang membujur dari timur --wilayah negara tetangga PNG-- ke barat
sampai ‘Kepala Burung’ Provinsi Papua Barat. Pegunungan panjang itu disebut
‘Pegunungan Tengah’, yang sebagian bersalju dengan ketinggian 1000-3000 meter
di atas permukaan laut.
Berdasarkan wilayah pemukiman, Papua memiliki tiga tingkatan yakni (1)
wilayah pesisir pantai dan pulau-pulau dengan ketinggian 0 – 100 meter di atas
permukaan laut, (2) wilayah sedang dengan ketinggian 100 – 500 meter di atas
permukaan laut, dan (3) wilayah pegunungan dengan ketinggian 500 – 3000 meter
di atas permukaan laut. Khusus untuk wilayah selatan yang berawa, tidak
diperhitungkan berdasarkan ketinggian melainkan jarak dari pantai yakni kurang
lebih 1000 meter dari garis pantai. Tingkatan pertama pada umumnya terdapat di
daerah pantai dan pulau-pulau. Tigkatan kedua adalah wilayah setelah daerah
tingkatan pertama dan sebelum tingkatan pegunungan.
Perbedaan tingkatan wilayah ini tidak saja disebabkan oleh keadaan
geografis melainkan juga oleh hal-hal lain seperti iklim, keadaan tanah, serta
fauna dan flora, yang secara langsung
mempengaruhi perilaku dan perkembangan manusia yang berdiam di wilayah itu.
Sebagai contoh, wilayah pesisir pantai dan pulau-pulau memiliki suhu rata-rata
200C – 320C dan daerah pegunungan dengan suhu rata-rata
di bawah 200C.
Keadaan suhu dan tanah mempengaruhi fauna dan flora. Sebagai contoh, sagu
dan kelapa hanya bisa bertumbuh di daerah pesisir pantai dan pulau-pulau
sedangkan tumbuhan tersebut tidak dapat bertumbuh di pegunungan yang bersuhu
dingin, yakni wilayah ketiga. Ada sejumlah tumbuhan dan binatang yang hanya
ditemukan di daerah pantai sedangkan tidak ada di pegunungan atau sebaliknya
hanya ada di pegunungan dan tidak ada di pantai. Kekhususan-kekhususan seperti
ini membuat ‘Tanah Papua’ sangat unik, yang disebut Boelaars (1986: ix) sebagai
firdaus bagi peneliti terutama ahli ilmu alam, antropologi, dan bahasa.
Suhu, tanah, fauna, dan flora memengaruhi pula perkembangan manusia yang
mendiami wilayah itu. Manusia yang mendiami pesisir pantai biasanya berbadan
tinggi, besar, dan kekar. Penghuni wilayah kedua berbadan sedang antara
kira-kira 155 sampai 170 sentimeter. Penduduk daerah ketinggian biasanya
berbadan tidak terlalu tinggi dan kadang-kadang tergolong pendek tetapi kekar
dan ulet menghadapi tantangan hidup dalam lingkungannya.
Selain lingkungan mempengaruhi perkembangan fisik, perkembangan mental dan
budaya pun ikut dipengaruhi. Misalnya, kebiasaan hidup di daerah-daerah
pegunungan selalu melekat pada diri mereka. Masyarakat pedalaman yang biasa
mendiami daerah pegunungan, kalau berpindah ke kota atau tempat lain, mereka
selalu mencari lereng-lereng bukit atau gunung sebagai tempat tinggal. Mereka
tidak pernah menempati daerah pesisir pantai. Cara mencari hidup dengan
berkebun. Sebaliknya, masyarakat pantai dan pulau-pulau bila pindah ke kota
atau wilayah lain, mereka selalu mencari daerah pesisir atau pinggiran kali.
Kelompok pesisir biasanya bermata pencaharian nelayan.
Wilayah pegunungan biasanya tidak banyak mendapat pengaruh luar sehingga
perkembangan otak mereka tidak sama dengan wilayah pesisir. Hal ini jelas
dipengaruhi oleh gizi dan protein yang dikonsumsi keluarga. Keadaan seperti itu
sudah tidak menjadi rahasia lagi di Papua. Suatu contoh yang nyata adalah
penentuan nilai dan kelulusan di sekolah sejak dilaksanakan ujian bersama pada
masa lalu. Nilai delapan di daerah pedalaman, --SMA Negeri Wamena, dalam hal
ini wilayah pegunungan--, dianggap sama dengan nilai enam di SMA Negeri 1
Jayapura. Kini penilaian itu sudah sedikit bergeser, yakni nilai enam di
Jayapura dianggap sama dengan nilai tujuh di daerah pedalaman. Hal ini lebih
diperkuat dengan penentuan hasil ujian nasional, yang tidak pernah mencapai
100%.
Untuk memberikan gambaran secara rinci dalam waktu yang singkat untuk topik
‘Orang Papua’, tidaklah mudah. Karena itu, untuk memberikan gambaran selayang
pandang, berikut akan dikemukakan hal-hal dan sifat-sifat tertentu tentang
orang Papua, di empat wilayah sampel penelitian, yakni Kabupaten Sarmi,
Kabupaten Merauke, Kabupaten Nabire, dan Kabupaten Jayawijaya.
1. Kabupaten Sarmi
Letak Kabupaten Sarmi di wilayah pantai utara pulau Papua dengan ketinggian
kurang dari 100 meter di atas permukaan laut. Sebelah timur Kabupaten Sarmi
berbatasan dengan Distrik Unurum Guai dan Tarfia Kabupaten Jayapura, sebelah
barat berbatasan dengan Kabupaten Mamberamo. Batas sebelah utara adalah Lautan
Teduh termasuk pula pulau-pulau kecil yang ada di situ dan sebelah selatan
Kabupaten Puncak Jaya dan Kabupaten Tolikara. Batas ini tidak sesuai dengan
peta dan keterangan Koentjaraningrat (dalam Koentjaraningrat dan Harsja W.
Bachtiar, 1963: 159-160) bahwa wilayah Sarmi berbatasan dengan sungai Tor dan
sungai Mamberamo. Kabupaten Sarmi terdiri atas dataran rendah di sepanjang
pantai yang berpasir dan berbatu; daerah pedalaman berbukit dan bergunung-gunung.
Di antara gunung-gunung itu, cukup banyak sungai baik yang besar maupun kecil.
Hutan Sarmi ditumbuhi pohon-pohonan yang besar karena itu di sana banyak
terdapat perusahaan-perusahaan kayu yang besar pula. Di samping kayu, tumbuh
pula pohon-pohon sagu di pinggir-pinggir sungai, baik kecil maupun besar.
Di Kabupaten Sarmi terdapat lima suku besar dengan banyak sub-subsuku yang
cukup banyak jumlahnya. Lima suku besar itu adalah Sobei, Armati, Rumbuai,
Manirem, dan Isirawa, yang disingkat menjadi S-A-R-M-I. Suku Sobei berdiam di pantai, mulai
dari barat sampai Distrik Pantai Timur Barat. Suku Armati berdiam di daerah
pedalaman, sebelah selatan sampai tenggara kota Sarmi, di hulu sungai Orei
(Sefa, 1995: 12). Orang Rumbai berada di Distrik Unurun Guai Kabupaten Jayapura
sampai sebagian Bonggo tetapi tetap diperhitungkan sebagai bagian yang integral
dari lima etnis utama di Kabupaten Sarmi. Orang Manirem berdiam di daerah Tor,
yang disebut pula sebagai Berik. Orang Isirawa berdiam di sebelah barat kota
Sarmi dari pantai sampai ke daerah pedalaman. Dengan dasar lima suku besar itu,
lambang daerah Kabupaten Sarmi terdiri atas lima tombak, yang melambangkan
kelima suku itu.
Orang Sarmi menggunakan bahasa etnisnya, yakni lima bahasa besar sesuai
nama suku-suku yang telah disebutkan di atas. Lima bahasa utama itu
memiliki variasi dialektis yang cukup
banyak namun belum diteliti perbedaan dan persamaannya. Kenyataan tersebut
menimbulkan kesan seakan-akan adanya banyak bahasa. Tidak dapat disangkal bahwa
mungkin saja variasi dialektis itu sudah mengubah beberapa varietas bahasa
menjadi bahasa, namun belum diteliti.
Di samping menggunakan bahasa suku mereka, ada pula sejumlah orang yang
dapat menggunakan bahasa lain, entah itu bahasa dari wilayah Sarmi maupun luar
Sarmi termasuk bahasa Waropen, Biak, Indonesia, dan bahasa asing. Bahasa yang
sebarannya luas di Sarmi adalah bahasa Sobei yang dipakai oleh penduduk pesisir
pantai dengan berbagai variasi dialektis. Selain bahasa Sobei di pantai, bahasa
yang luas sebarannya di daerah pedalaman
adalah bahasa Berik. Ada pula sejumlah bahasa lain, yakni Isirawa,
Kwerba, Kwesten, Mander, Foya, dan Papasena di hulu kali Mamberamo.
Orang asli Sarmi termasuk kelompok etnis yang terbuka bersyarat, yakni
mereka menerima orang luar dengan syarat-syarat sebagaimana dikemukakan di
atas. Mereka juga kini menerima perubahan dari luar dengan baik. Banyak pula di
antara mereka sudah datang dan tinggal di Jayapura untuk bersekolah. Orang
Sarmi telah bekerja sebagai pegawai negeri, TNI-Polri, wiraswasta dan pengusaha
yang berhasil. Orang Sarmi yang tinggal di kampung pada umumnya sebagai petani
dan nelayan. Ada pula yang bekerja sebagai pegawai negeri, yakni guru, pegawai
distrik, dan kabupaten.
Sebagian besar penduduk Sarmi tinggal di pinggir-pinggir pantai dan
sungai. Ada pula yang bermukim di pulau-pulau kecil. Rumah-rumah mereka
merupakan rumah panggung dengan lantai papan dan kayu. Kini perumahan mereka
dibangun oleh pemerintah kabupaten di pinggir-pinggir jalan besar dengan
konstruksi beton.
Mata pencaharian orang Sarmi adalah bertani dengan pola pertanian yang
berpindah-pindah, terutama untuk orang pedalaman. Penduduk pantai selain
bertani, pekerjaan nelayan dapat pula dijalani untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Pada umumnya mereka mencari nafkah hanya untuk makan sehari dua
hari sebab alam mereka cukup kaya dengan makanan. Di laut dan di air sungai
terdapat banyak ikan, di darat banyak sagu yang dapat diambil setiap saat.
2. Kabupaten Merauke
Wilayah kabupaten Merauke sebetulnya sangat luas, tetapi telah
dimekarkan tiga kabupaten baru, yakni Kabupaten Asmat, Kabupaten Boven Digul,
dan Kabupaten Mapi, sehingga kabupaten induk yakni Kabupaten Merauke sudah
tidak luas lagi. Batas-batas Kabupaten Merauke dijelaskan sebagai berikut. Sebelah
utara berbatasan dengan Kabupaten Boven Digul dan Kabupaten Mapi, sebelah
selatan berbatas dengan Selat Tores, sebelah timur berbatasan dengan Negara
tetangga PNG, dan sebelah barat berbatasan dengan Laut Aru. Wilayah Kabupaten
Merauke merupakan dataran rendah karena tidak ada bukit dan gunung. Daerahnya
berpasir dan berlumpur, terutama di muara-muara kali. Tidak ada batu di sana.
Ketinggian tidak mencapai 100 meter di atas permukaan laut, bahkan menurut
catatan (Irian Jaya dalam Angka, 1999: 3), ketinggian Kabupaten Merauke hanya
mencapai 3,5 meter di atas permukaan laut.
Beberapa kelompok etnis yang berdiam di Kabupaten Merauke antara lain
sebagai berikut Bian-Marind, Marin Anim, Yelmek, Kimaam, Kanum, Yei, Maklew,
Mombum, Moriori, dan Kimaghima. Selain Kimaam, Mombum, Kimaghama, Ndom, dan Riantana, semua etnis lain
menggunakan bahasa Marind dengan berbagai ragam dan dialek. Dengan demikian,
bahasa Marind sangat luas daerah pakainya di Kabupaten Merauke. Di samping
bahasa Marind, terdapat pula bahasa-bahasa lain terutama di Pulau Yos Sudarso
Kimam seperti Koneraw, Mombum, Kimaghama, Ndom, dan Riantana.
Orang asli Papua di Kabupaten Merauke memiliki sifat terbuka bersyarat
dalam kaitan hubungan biasa dengan orang luar, tetapi sangat tertutup untuk keperluan
penelitian. Hal ini dikaitkan dengan beberapa peneliti yang pernah membuat
penelitian di sana, ternyata sangat sulit mendapat informasi yang benar.
Penduduk setempat beranggapan bahwa penelitian itu mengambil kekayaan budaya
sehingga mereka tidak mau terbuka. Namun demikian, setelah mereka mengetahui
bahwa orang luar itu hanya sekedar berdiam bersama-sama, pada umumnya kelompok
etnis yang ada di sana baik hubungannya dengan orang lain itu.
Orang Marind berprofesi sebagai petani dan nelayan. Mereka tidak banyak
menjadi pegawai negeri padahal mereka tinggal dekat kota. Hal ini diakibatkan
oleh lingkungan alam yang memanjakan penduduk setempat. Orang Papua Marind
tidak sulit mencari makan karena di darat tumbuh dusun-dusun sagu dengan tanah
yang subur, di laut dan di kali terdapat banyak ikan, udang, dan kepiting. Pola
pertanian mereka adalah lading dengan sistem berpindah-pindah. Ada pula di
antara mereka sudah mengerjakan sawah untuk padi setelah adanya pengaruh dari
luar, yakni kelompok transmigrasi nasional dari Jawa, Bali, NTT, dan daerah
lainnya.
3. Kabupaten Nabire
Wilayah Kabupaten Nabire berada di bawah Pemerintah Provinsi Papua dengan
batas-batas wilayah sebagai berikut. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten
Kaimana dan Kabupaten Teluk Wondama, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten
Lani Jaya dan Kabupaten Nduga. Sebelah utara, Kabupaten Nabire berbatasan
dengan laut Teluk Cenderawasih dan di sebelah selatan berbatasan dengan
Kabupaten Mimika.
Daerah Nabire terdiri atas gunung-gunung dan pantai yang berpasir serta
berbatu. Ketinggian wilayah tidak melebihi 1000 meter di atas permukaan laut.
Banyak pohon besar bertumbuh di daerah itu di samping sagu di pinggir-pinggi
sungai dan rawa-rawa.
Terdapat lima kelompok etnis yang mendiami Kabupaten Nabire.
Kelompok-kelompok etnis itu adalah Iresim, Mor, Tunggare, Yaur, dan Mapia.
Bahasa terbesar yang digunakan oleh penduduk setempat adalah bahasa Me atau
dalam kepustakaan yang disebut sebagai bahasa Ekagi. Bahasa-bahasa lain yang
ada di Nabire adalah bahasa Mor, Waropen, Iresim, Yaur, Auye, Moni, Wolani,
Tause, Fayu, dan lain-lain (Silzer dan H.H. Clouse, 1991: 17).
Orang Papua Nabire termasuk kelompok etnis yang bersifat terbuka bersyarat
karena mereka dapat menerima orang luar dengan baik apabila mereka tahu maksud
dan tujuan orang luar itu. Penduduk Kabupaten Nabire saat ini sudah sangat
heterogen, terutama dengan datangnya transmigran nasional dari luar Papua.
Mereka sudah hidup berdampingan dengan orang luar sehingga kini sebagian di
antara mereka sudah sangat terbuka. Sudah banyak pula orang Nabire yang
merantau keluar daerahnya.
Sampai dasawarsa 60-an, orang Nabire belum banyak bersekolah ke luar
daerahnya. Tetapi, setelah tahun 70-an, cukup banyak orang Nabira, yang dalam
hal ini diwakili oleh orang Me bersekolah ke luar, terutama ke Jayapura. Sampai
saat ini cukup banyak orang Me yang memegang jabatan penting terutama di
Kabupaten Nabire.
4. Kabupaten jayawijaya
Sebelum zaman reformasi di tanah air, Kabupaten Jayawijaya dengan ibukota
Wamena merupakan salah satu kabupaten terluas dan terbesar di Papua. Namun
kini, wilayah itu telah dimekarkan menjadi 10 kabupaten, sehingga kabupaten
induk sudah sangat terbatas wilayahnya, yakni hanya seputar Lembah Baliem saja.
Kabupaten Jayawijaya berbatasan dengan beberapa kabupaten sebagai berikut.
Sebelah utara Kabupaten Jayawijaya adalah Kabupaten Jayapura dan Kabupaten
Sarmi, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Asmat. Sebelah barat,
Kabupaten Jayawijaya berbatasan dengan Kabupaten Mimika dan sebelah timur
berbatasan dengan Kabupaten Pegunungan Bintang.
Wilayah Jayawijaya merupakan satu lembah terbesar di daerah pegunungan
tengah ‘Tanah Papua.’ Sehubungan dengan itu, banyak istilah diperuntukan
baginya antara lain Lembah Baliem atau ‘Lembah Agung.’ Daerah pinggiran lembah
itu merupakan gunung-gunung tinggi, baik timur, barat, utara, maupun selatan.
Bagian bawah lembah, tumbuh pohon-pohonan dan bagian puncak sebagian bergundul
atau kalau ditumbuhi pohon, sudah tidak tinggi lagi pohon-pohon itu.
Kelompok etnis yang berdiam di
Kabupaten Jayawijaya sebanyak empat, yakni Lani, yang dalam kepustakaan lain
disebut dengan Dani, Nduga, Hubula, dan Walak. Etnis terbesar adalah Lani,
sebab selain di lembah, etnis Lani berdiam pula di luar lembah seperti Dani
Barat.
Orang Lani termasuk kelompok yang
tertutup karena sangat sulit orang luar dapat memperoleh informasi dari mereka.
Mereka juga sangat mencurigai orang-orang luar. Sikap-sikap seperti ini dapat
dimengerti karena sering terjadi perang suku di antara mereka. Perang antarsuku
sampai saat ini masih dijumpai di etnis-etnis tertentu di Papua terutama
etnis-etnis yang ada di daerah pedalaman. Walaupun keadaannya demikian, tetapi
banyak pula yang sudah menuntut ilmu ke luar daerahnya, yakni di Papua dan luar
Papua. Banyak pula sudah berpendidikan tinggi, --sarjana--, sehingga telah
menduduki jabatan-jabatan penting di daerahnya dan juga daerah lain di Papua.
Apa yang unik dari tumbuh kembang anak Papua usia 1 sampai 5 tahun?
Menjawab keunikan ini dapat dimulai dari apa yang terjadi pada anak Papua usia
1 sampai 5 tahun itu sendiri, atau apa yang terjadi dengan tumbuh kembang anak
Papua di atas usia 1-5 tahun? Penjelasan tumbuh kembang anak Papua di atas 5
tahun akan menjadi potret bagaimana memahami tumbuh kembang anak Papua usia 1-5
tahun. Para ahli mengemukakan bahwa usia 1-5 tahun sangat menentukan periode
berikutnya, bahkan kegagagalan penyesuaian diri dengan lingkungan pada
periode-perode tugas perkembangan di atasnya menurut kaum Freudian disebabkan
oleh tidak maksimalnya realisasi tugas-tugas perkembangan pada periode pertama
tumbuh kembang anak usia usia 1-5 tahun.
Menarik untuk dibahas lebih awal tumbuh kembang anak Papua usia di atas 5
tahun sebelum dijelaskan tentang tumbuh kembang anak Papua usia 1-5 tahun. Usia
ini secara umum ditandai dengan situasi baru di mana anak Papua untuk pertama
kali menginjakkan kakinya di lingkungan sekolah dasar dan jenjang pada satuan
pendidikan berikutnya. Perilaku usia ini ditandai oleh sejumlah potensi untuk
menerima intervensi dari luar seperti kosa kata terus bertambah di atas 10.000
kata dan terampil dalam menggunakan aturan sintaksis, keahlian bercakap
meningkat, definisi kata mencakup sinonim, strategi berbicara terus bertambah,
kosa kata bertambah dengan kata-kata abstrak, pemahaman bentuk tata bahasa
kompleks, pemahaman fungsi kata dalam kelimat, memahami metafora dan satire,
dan dapat memahami karya sastra dewasa (Bloom, 1998; Foley & Thompson,
2002). Sementara di pihak lain pada periode usia ini juga ditandai oleh
meningkatnya kemampuan berpikir seperti bernalar secara logis tentang
kejadian-kejadian konkret dan mampu mengklasifikasi ke dalam kelompok yang
berbeda-beda, dan pada saat usia remaja
hingga dewasa telah memiliki kemampuan berpikir secara lebih abstrak,
realistis, dan logis (Piaget & Inhelder, dalam Santrock, 2007).
Usia ini sangat membutuhkan kerjasama dari semua pihak termasuk kerjasama
orangtua dengan pihak sekolah. Epstein dkk., (2002) mendeskripsikan 6 area di
mana hubungan keluarga dan sekolah dapat dibentuk. Pertama, menyediakan bantuan untuk keluarga. Sekolah dapat
menyediakan informasi tentang (1) keterampilan mengasuh anak, (2) arti penting
hubungan keluarga, (3) perkembangan anak dan remaja, (4) konteks rumah yang
memperkaya pembelajaran di kelas, (5) guru sebagai titik kontak sekolah dan
keluarga, dan (6) guru dapat mengetahui apakah keluarga telah memenuhi
kebutuhan fisik dari kesehatan anak-anak. Kedua,
berkomunikasi secara efektif dengan keluarga mengenai program sekolah dan
kemajuan anak mereka, undang orangtua untuk bertemu guru sebelum kegiatan
pembelajaran dimulai, kirim hasil belajar anak ke rumah dengan beberapa catatan
penting, di sekolah yang memiliki system telepon terkomputerisasi, rekamlah
pesan tentang unit belajar anak seperti PR dan tugas-tugas lainnya yang dapat
diakses oleh orangtua di rumah. Ketiga,
ajak orangtua menjadi relawan seperti pelatihan, pekerjaan yang sesuai dengan
keahlian mereka. Keempat, libatkan keluarga dengan anak mereka dalam aktivitas belajar di rumah. Kelima, Libatkan keluarga sebagai
partisipan dalam keputusan sekolah, dan Keenam,
mengkoordinasikan kerjasama komunitas seperti sumber daya komunitas bisnis,
agen, perguruan tinggi untuk meningkatkan program sekolah ke depan.
Perjalanan tumbuh kembang anak Papua usia di atas 6 tahun ternyata
mengalami pasang surut. Berbagai sumber diperoleh fakta bahwa semestinya pada
periode ini anak usia ini telah menerima intervensi dari lingkungan
persekolahan, tetapi ternyata pada periode ini banyak faktor penghambat yang
turut menyumbang ketertinggalan anak pada dunia pendidikan dan lain sebagainya,
di samping tentunya adanya factor penunjang. Seorang anak menulis surat kepada
Gubernur Provinsi Papua sebagai bentuk ungkapan kerinduan untuk mendapatkan
pendidikan selayaknya anak usianya yang berada di kota. Isinya: “berharap di pemerintah dapat
menambah jumlah guru di sekolahnya dan membangun laboratorium komputer agar
dapat meningkatkan kualitas belajar seperti siswa lain yang lebih dulu maju,
sementara seorang siswa lainnya memohon melalui Gubernur agar di desanya
dibangun aliran listrik dan ditambah tenaga dokter dan perawat agar diperoleh
kemudahan pelayanan kesehatan yang layak”. (Jayapura. Kompas.com. 11 Sept 2009).
Pada bagian lain, Theresia ES, guru SD di Boven Digoel mengemukakan bahwa “di
Distrik Kimam Merauke, dari 34 SD hanya 6 sekolah yang mengikuti ujian akhir
Mei 2007. Selebihnya sekolah tak mengikuti ujian karena tak beroperasi. Jika
bukan karena guru kabur, anak didik ikut orangtua masuk hutan” (Kompas, Nov.
2008).
Gubernur Papua dalam kesempatan lain mengemukakan bahwa “anak Papua sulit
mengakses pendidikan karena kurang mampu secara ekonomi dan tak mendapat
kesempatan menikmati hal-hal yang dirasakan anak-anak umumnya. Gubernur
menegaskan pula bahwa di pedalaman, pesisir pantai, dan pulau-pulau terpencil
masih banyak anak bekerja keras membantu orangtua untuk mempertahankan hidup.
Mereka tak berkesempatan mengenyam pendidikan, bermain, dan mengembangkan diri
karena keterbatasan. Kualitas hidup, kesehatan, dan pendidikan yang rendah
menjadi bagian kehidupan mereka. Tak pelak, hal itu mempengaruhi kualitas
sumber daya mereka dan kulitas sumber daya manusia secara umum” (Kompas.com. 18
Sept 2009).
Pernyataan ini sejatinya merupakan keadaan nyata dari hambatan kemajuan di
bidang pendidikan, kesehatan dan infrastruktur lainnya di Provinsi Papua, yang
pada akhirnya ikut menghambat kemajuan anak-anak Papua usia di atas 6 tahun
yang mendambakan pendidikan berkualitas sebagai pintu masuk menuju masa depan
Papua baru. Jelaslah sekarang bahwa anak Papua usia di atas 6 tahun dalam
berbagai kasus banyak mengahadapi kendala dalam pendidikan, kesehatan dan
bidang kehidupan lainnya.
Gambaran keadaan pendidikan, kesehatan, dan bidang kehidupan lainnya di
Provinsi Papua sebagaimana dikemukakan di atas logikanya akan berpengaruh buruk
terhadap tugas-tugas perkembangan anak usia 6 tahun ke atas sebagaimana di
jelaskan sebelum ini. Jika demikian halnya, maka diperlukan langkah cerdas,
cepat, dan strategis yang perlu dilakukan agar tidak terjadi kembali kepada
anak usia 1-5 tahun yang akan menjalani kehidupannya di provinsi ini.
Kembali kepada anak Papua usia 1-5 tahun. Jika terdapat fenomena hambatan
pendidikan, kesehatan dan bidang kehidupan lainnya pada tumbuh kembang anak
Papua di atas usia 6 tahun, bagaimana dengan anak Papua usia 1-5 tahun.
Pertanyaannya apakah generasi ini akan mengalami hal yang sama dengan generasi
di atasnya? Jawabannya tentu tidak. Anak usia 1-5 tahun menurut Piaget &
Inhelder, dalam Santrock, 2007 dan Bloom, 1998; Foley & Thompson, 2002;
berada pada tahap sensorimotor, dan tahap pra operasional, di mana pada tahap
sensorimotor bayi menyusun pemahaman dunia dengan mengoordinasikan mengalaman
indra (sensory) mereka seperti melihat dan mendengar dengan gerakan motor
(otot) untuk menggapai atau menyentuh. Sedangkan pada tahap pra operasional di
mana yang sangat menonjol pada tahap ini adalah kemampuan egosentris dan
intuitif ketimbang logis. Selanjutnya pada pada usia ini kemampuan bahasa yang
dominan adalah membunyikan suara (sekedar bersuara), membedakan huruf hidup,
berceloteh, celoteh bertambah degan mencakup suara dari bahasa ucap, isyarat
digunakan untuk mengomunikasikan suatu objek, kata pertama diucapkan, rata-rata
memahami 50 kosa kata lebih, kosa kata akan terus bertambah sampai rata-rata
200 buah, kombinasi dua kata, kosa kata bertambah cepat, penggunaan bentuk
jamak secara tepat, penggunaan kata lampau, penggunaan beberapa preposisi atau
awalan, rata-rata panjang ucapan naik dari 3 sampai 4 morfem per kalimat,
menggunakan pertanyaan ya atau tidak dan pertanyaan mengapa, di mana, siapa,
kapan, menggnakan bentuk negative dan perintah, pemahaman pragmatis terus
bertambah (Piaget & Inhelder, dalam
Santrock, 2007).
Potensi tumbuh kembang anak Papua usia 1 sampai dengan 5 tahun merupakan
generasi anak Papua yang sudah sepantasnya mendapat perlindungan terutama yang
berkaitan dengan kesiapan orang tua untuk menyekolahkan anaknya, dan upaya
pemeliharaan kesehatan keluarga (ibu-anak) dan kebutuhan hidup lainnya. Dengan
demikian maka tidak akan terjadi pengulangan kegagalan sebagaimana yang terjadi
pada anak-anak Papua usia di atas enam tahun.
Oleh: Hery Setiawan, SJ.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar