“Agustian.
Itu namamu. Sepenggal nama yang mengingatkanku pada Agustinus. Kau
tahu, masa mudanya dihabiskan untuk hal-hal yang hina. Tapi ia bertobat
dan kemudian menjadi pujangga Gereja. Ia menjadi seorang uskup dan
teolog besar.”
Paskah 2007 aku bertemu untuk pertama kali dengan Agustian.
Pastor Paroki Waghete mengenalkanku pada pemuda sederhana yang
menghabiskan banyak waktu di sekitar altar. Ia sibuk menjadi misdinar
dan aktif untuk berbagai kegiatan gereja.
Mula-mula aku tidak tahu banyak tentang dia. Pun aku tidak tahu apa
yang terjadi dengan mata kanannya. Hanya saja aku tidak luput
memerhatikan kidalnya. Juga aku tidak akan lupa pada kepercayaan dirinya
dan impiannya.
Agus datang dari keluarga yang sangat sederhana. Entah sejak umur
berapa persisnya, tapi boleh jadi sejak ia sangat kecil, ia tumbuh hanya
bersama mamanya. Ia menghayati kesederhanaan dalam derajat yang paling
sederhana. Bukan kesederhanaan yang dibuat-buat. Kalau boleh kukatakan
dengan agak terus-terang, ini adalah jenis kesederhanaan yang membuat
Agus sulit untuk bisa sekadar membayangkan bersekolah. Apalagi untuk
sekolah di kota.
“Gus, seperti apakah kesederhanaan itu?”
“Bayangkanlah kau berada di dasar jurang yang sangat dalam. Kau
sampai-sampai tidak bisa membayangkan untuk bisa keluar meskipun kau
sangat ingin bebas dari situ. Apakah kau ingin berteriak? Pun berteriak
suaramu tidak akan sampai ke mulut jurang. Meski begitu aku berupaya
untuk bisa. Aku tidak kehilangan harapan.”
Akh, ini hanyalah percakapan di angan-angan demi memudahkan aku untuk merasakan kesederhanaan yang menyesakkan itu.
Pastor itu merekomendasikan Agus untuk bersekolah di Nabire.
“Percayalah, siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil.” Jalan untuk
menempuh pendidikan lebih tinggi terbuka.
“Gus, ingatkah bahwa kita berjumpa menjelang paskah? Untukmu, Paskah
membawa kegembiraan sesungguhnya: Kau bisa sekolah dengan beasiswa.
Kegelapan itu berganti terang. Tuhan menunjukkan keperkasaan-Nya!”
Tiga tahun Agus tinggal bersama dengan para pastor di Nabire
sekaligus menjadi pelayan rumah tangga mereka. Pagi-pagi sekali ia sudah
bangun untuk menanak nasi dan memberesi rumah. Dengan sepeda butut itu
ia berangkat ke sekolah.
Ingatanku akan ketekunan Agus tiada akan pernah lekang. Terlalu
membekas. Teramat dalam. Ia amat tekun belajar. Dengan rendah hati ia
meminta bimbingan Pak John Kurniawan Angkasa. Ketika teman-temannya
menyingkirkan matematika, Agus justeru menekuninya. Sungguh, ia memiliki
keberanian yang cukup untuk hidup!
“Gus, Kau ingin jadi apa?”
“Jadi Guru, Pak Guru!”
Aku tidak meminta penjelasan lebih lanjut tentang mimpi itu. Sangat
mudah kutebak: Ia sudah merasakan betapa tidak menyenangkan menjadi
murid yang ditinggalkan oleh gurunya. Ia melihat murid-murid di
sekolah-sekolah di pedalaman itu seperti domba-domba tanpa gembala.
Berjalan tak tentu arah. Bisa juga aku mengerti bahwa ia ingin menjadi
guru karena ingin membawa murid-muridnya ke kemerdekaan: merdeka dari
kebodohan, merdeka untuk hidup secara manusiawi, merasa dihargai, dan
sungguh-sungguh diperlakukan sebagai manusia.
“Apakah artinya pendidikan kalau hanya dipakai untuk menyangkal
kemanusiaan yang lain? Atau untuk menghilangkan kekayaan sebuah bangsa?”
Protes itu bergemuruh di hatiku ketika masih menjadi guru di Nabire.
Aku tidak tahu apakah kemudian ia menjalar pada Agus dan teman-temannya.
Aku pernah mengajak Agus bercerita tentang cita-citanya menjadi guru.
Darimanakah ia bertolak? Ia merefleksikan keberadaannya di atas bumi
ini. Ia bertanya pada diri sendiri soal apa tujuannya dihadirkan di
Papua. Mungkin ia pun bertanya mengapa Tuhan menciptakannya sebagai
orang Papua. Aku tidak tahu berapa banyak orang-orang muda seistimewa
Agustian Tatogo.
“Gus, izinkan aku untuk belajar darimu. Menghayati perjalanan hidupku
sebagai peziarahan menjawab panggilan Tuhan, sebagai pergumulan iman.
Menjadi guru bukan profesi, tapi panggilan. Untukmu, menjadi guru adalah
proses menghayati iman.”
Untuk kali ini, giliranku yang berterima kasih padamu, Agustian.
Oleh: Yohanes Supriyono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar