“Aku
ingin menceritakan sedikit tentang diriku. Lebih-lebih tentang
pilihanku menjadi guru matematika. Tidak banyak orang muda Papua, yang
saya tahu, menyukai pelajaran ini,” Agustian membuka percakapan kami.
Aku diam menanti ia memulai cerita. Sejarah kehidupan selalu menarik
untuk kusimak. Bukan aku ingin tahu masa lalu seseorang, tapi
lebih-lebih aku ingin ikut merasakan semangat hidupnya. Sejarah—maksudku
historicity jika ditulis dalam bahasa Inggris—lebih terasa
sebagai kesadaran untuk hidup. Keputusan-keputusan seseorang atau
masyarakat untuk membentuk hidupnya atau hidup mereka; untuk memberi
wajah pada masa depan mereka.
“Saya mulai dari pertanyaan yang biasa orang tanyakan: Mengapa saya
menyukai pelajaran matematika?” Agus melanjutkan ceritanya. Ia duduk
dengan agak membungkuk. Kedua telapak tangannya bertemu.
“Saya mulai senang Matematika setelah masuk SMA. Pelajaran ini tidak
saya sukai ketika saya masih di SD dan SMP. Baru setelah bertemu dengan
Pak John Angkasa saya mulai suka.”
“Hmmmm... Jadi Pak John yang membuatmu suka Matematika?”
“Ya. Di SMA yang kumasuki ada program penyetaraan. Kami menyebutnya
matrikulasi. Program ini untuk siswa baru yang berasal dari pedalaman
agar lebih baik dalam membaca, menulis, dan menghitung. Selain itu, kami
juga diajari tentang pengetahuan seputar pendidikan. Sebenarnya,
matrikulasi ini dimaksudkan untuk kami yang kurang mampu menyesuaikan
diri dengan tuntutan kurikulum. Namun, waktu itu baik kami yang dari
pedalaman maupun dari kota mengikuti program matrikulasi bersama.”
“Kau belum cerita soal Pak John baru saja,” aku menyela.
“Pak John mengampu materi menghitung. Beliau menyuruh kami satu per
satu maju ke depan kelas untuk menghafalkan perkalian 1x1 sampai 10x10.
Di kelasku—nama kelas kami X Goldstein waktu itu—ternyata belum semua
bisa. Teman-teman yang berasal dari kota pun ada yang gagal sehingga
harus berulang-ulang menghafal. Sementara teman-teman dari pedalaman ada
yang bisa hingga 6x6. Ketika itu, saya baru bisa menghafalkan perkalian
1,2,3,5,dan10. Bayangkan betapa bodohnya saya pada waktu itu. Karena
saya belum menghafalkan perkalian yang begitu banyak saat itu, saya
menghabiskan banyak waktu berdiri di depan kelas.”
Agustian tertawa mengenang hari-hari di pertengahan bulan Juli 2007, awal ia masuk SMA.
“Mungkin Pak John gemas dengan saya sehingga ia memberi tugas padaku
untuk menghafalkan perkalian 1 hingga 20 dalam seminggu. Sungguh mati,
saya tidak bisa menghafalkan sekian banyak. Apalagi kapasitas memori
saya terbatas karena kurang dilatih. Tapi mau tidak mau saya harus
menghafalkan karena saya takut dengan Pak John—huhh badannya
besar dan sangat disiplin. Sebenarnya, saya tidak sanggup. Tapi, karena
ini tugas yang diberikan Pak John, saya harus menanggung beban itu.”
Entah apakah waktu itu ada siswa lain yang diperlakukan ‘istimewa’
seperti Agustian oleh Pak John waktu itu. Tapi seminggu itu, siang dan
malam, dihabiskan oleh Agustian untuk menuntaskan tugas itu.
“Meski kemampuan Matematika saya membaik, saya masih belum menyukai
pelajaran ini. Saya masuk jurusan IPA saat kelas XI. Meski begitu, saya
masih belum menyenangi Matematika. Pak John jarang sekali mengajar kami
karena sudah ada guru yang lain. Mungkin beliau lebih terfokus pada
kerjaannya sebagai wakil kepala sekolah.”
“Jadi guru yang menyeramkan ada untungnya, Gus. Apakah kamu kalau jadi guru akan meniru Pak John?”
Agustian hanya tertawa renyah. Tapi jelas ia akan kesulitan karena
badannya tidak besar. Apalagi kalau harus meniru rambut gondrong Pak
John. Itu sulit sekali.
“Lalu, waktu kelas XII saya baru menyenangi matematika karena
pelajaran ini akan diujiankan. Pak John dan Rama Mardi memberi saya
semangat. Pak John kembali masuk ke kelas kami. Saya menjadi lebih
senang lagi. Jika ada waktu kosong, saya menyempatkan meminta
pertolongan Pak John menjelaskan materi yang saya tidak mengerti. Beliau
setia mendampingiku setiap malam di Wisma Jesuit. Di sore hari saya
suka pergi menemui Rama Mardi di pastoran untuk belajar matematika. Dua
orang itulah yang memberikan saya harapan di dunia matematika. Saat
semangatku padam, merekalah yang menyalakan kembali. Jasa mereka sangat
besar dalam hidupku.”
Dua orang itu sudah tidak lagi di SMA tempat Agustian belajar. Aku
tidak tahu, tapi semoga ada guru lain yang seperti mereka. Boleh jadi,
Agustian salah satunya. Kelak....
Oleh: Yohanes Supriyono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar