Jumat, 25 September 2015

HERIK WAROPEN: Saya Mau Belajar

Oleh: Agustian Tatogo

Herik Sam Waropen, itulah nama Siswa Asrama Putra Taruna Karsa Nabire. Dia berasal dari Kampung Teluk Umar, Nabire. Saat ini dia berada pada kelas X SMA YPPK Adhi Luhur Nabire. Seharusnya, saat ini dia kelas XI tetapi bertahan satu tahun pada kelas X. Keluarganya juga terlihat biasa- biasa saja. Begitu pula penghasilan keluarga yang tidak tinggi membuat Herik berpikir dua kali untuk tinggal di asrama dan bersekolah di Adhi Luhur. Dia beragama Kristen Protestan.
Hal menarik dari seorang Herik adalah pertama: dia mau tetap bertahan di kelas X Adhi Luhur meskipun mengalami kejadian pahit (tidak naik kelas). Kedua: dia masih mau bertahan di asrama. Artinya, meksipun tidak naik kelas, dia tidak merasa malu atau minder dengan kakak- kakak, teman- teman ataupun adik- adiknya. Ketiga: Asrama Putra Taruna Karsa diperuntukkan bagi siswa beragama Katholik. Mengapa demikian? Semua aturan, tata tertib, kebiasaan diberlakukan menurut agama Katholik. Setiap anak yang masuk dan tinggal di asrama ini adalah punya kewajiban mengikuti, menaati semua aturan yang dibuat oleh asrama (entah kesepakatan bersama atau dibuat oleh pembina asrama). Herik Waropen tinggal di asrama tersebut berarti dia mau menyesuaikan dan mengikuti kebiasaan di asrama tersebut.
Satu hal yang menurut saya terkesan adalah ketika dia mendapat giliran doa malam dan juga tugas pada pagi hari di Kapel Le Cocq d’Armandville. Dia mau mengikuti dan melaksanakan tugasnya, misalnya membaca bacaan (menjadi Lektor) di mimbar bacaan. Selain itu, dia mau belajar baca notasi angka pada buku Madah Bakti. Dia sering memimpin umat terutama dalam mengangkat lagu pada Misa pagi di kapel.
Ketika saya menanyakan kepada Herik, mengapa kamu mau tinggal di asrama ini, padahal keluargamu juga ada di Kalibobo? Asrama ini kan khusus untuk anak- anak yang beragama Katholik. Dan kamu Kristen Protestan, lalu mengapa kamu mau tinggal di sini? Jawabannya singkat, saya mau belajar. Jawabanya singkat tetapi maknanya sangat luas. Belajar yang dimaksud Herik adalah tidak hanya belajar mata pelajaran di sekolah. Tetapi, juga belajar hidup sebagaimana siswa asrama. Berlajar menjadi pemimpin. Menjadi pemimpin berarti kita harus mempersiapkan segala sesuatu mulai dari sekarang, belajar berorganisasi, belajar disiplin ilmu, disiplin waktu, belajar mengambil resiko dan mau mempertanggungjawabkan atas kesalahannya dan masih banyak lagi.
Apakah hanya karena berbeda agama lalu kita tidak mau menerima dia? Atau pembina hanya memilih anak- anak yang seagama dengan pembina saja? Saya rasa tidak cukup, dan jika pemikiran itu maka generasi masa depan akan hancur. Bagi saya, siapa saja yang akan masuk di asrama berarti mau mengikuti aturan, tradisi, kebiasaan, tata tertib. Saya tidak melihat dari latar belakang keluarga, penghasilan orang tua, latar belakang agama, adat- istiadat ataupun suku dan bangsa.
Selama anak itu mau belajar dan berproses di asrama, maka saya menganggapnya adalah adik saya sendiri. Jika seperti itu maka sifat kekeluargaan, kedaerahan atau kesukuan menjadi nomor dua. Hal paling penting yang saya nilai adalah semangat untuk berjuang, semangat untuk berproses  dan semangat untuk belajar meskipun pernah mengalami kejadian pahit.

Tulisan ini dipublikasikan setelah mendapat persetujuan dari objek tulisan (Herik Sam Waropen)


Penulis adalah Pembina Asrama Putra Taruna Karsa Nabire

Tidak ada komentar:

Posting Komentar