Oleh: Agustian Tatogo
Herik
Sam Waropen, itulah nama Siswa Asrama Putra Taruna Karsa Nabire. Dia berasal dari
Kampung Teluk Umar, Nabire. Saat ini dia berada pada kelas X SMA YPPK Adhi
Luhur Nabire. Seharusnya, saat ini dia kelas XI tetapi bertahan satu tahun pada
kelas X. Keluarganya juga terlihat biasa- biasa saja. Begitu pula penghasilan
keluarga yang tidak tinggi membuat Herik berpikir dua kali untuk tinggal di asrama
dan bersekolah di Adhi Luhur. Dia beragama Kristen Protestan.
Hal
menarik dari seorang Herik adalah pertama:
dia mau tetap bertahan di kelas X Adhi Luhur meskipun mengalami kejadian pahit
(tidak naik kelas). Kedua: dia masih
mau bertahan di asrama. Artinya, meksipun tidak naik kelas, dia tidak merasa malu atau
minder dengan kakak- kakak, teman- teman ataupun adik- adiknya. Ketiga: Asrama Putra Taruna Karsa
diperuntukkan bagi siswa beragama Katholik. Mengapa demikian? Semua aturan,
tata tertib, kebiasaan diberlakukan menurut agama Katholik. Setiap anak yang masuk
dan tinggal di asrama ini adalah punya kewajiban mengikuti, menaati semua
aturan yang dibuat oleh asrama (entah kesepakatan bersama atau dibuat oleh pembina asrama). Herik
Waropen tinggal di asrama tersebut berarti dia mau menyesuaikan dan mengikuti
kebiasaan di asrama tersebut.
Satu
hal yang menurut saya terkesan adalah ketika dia mendapat giliran doa malam dan
juga tugas pada pagi hari di Kapel Le Cocq d’Armandville. Dia mau mengikuti dan
melaksanakan tugasnya, misalnya membaca bacaan (menjadi Lektor) di mimbar
bacaan. Selain itu, dia mau belajar baca notasi angka pada buku Madah Bakti. Dia
sering memimpin umat terutama dalam mengangkat lagu pada Misa pagi di kapel.
Ketika
saya menanyakan kepada Herik, mengapa kamu mau tinggal di asrama ini, padahal
keluargamu juga ada di Kalibobo? Asrama ini kan khusus untuk anak- anak yang
beragama
Katholik. Dan kamu Kristen Protestan, lalu mengapa kamu mau tinggal di sini?
Jawabannya singkat, saya mau belajar. Jawabanya singkat tetapi maknanya
sangat luas. Belajar yang dimaksud Herik adalah tidak hanya belajar mata
pelajaran di sekolah. Tetapi, juga belajar hidup sebagaimana siswa asrama.
Berlajar menjadi pemimpin. Menjadi pemimpin berarti kita harus mempersiapkan
segala sesuatu mulai dari sekarang, belajar berorganisasi, belajar disiplin
ilmu, disiplin waktu, belajar mengambil resiko dan mau mempertanggungjawabkan
atas kesalahannya dan masih banyak lagi.
Apakah
hanya karena berbeda agama lalu kita tidak mau menerima dia? Atau pembina hanya
memilih anak- anak yang seagama dengan pembina saja? Saya rasa tidak cukup, dan
jika pemikiran itu maka generasi masa depan akan hancur. Bagi saya, siapa saja
yang akan masuk di asrama berarti mau mengikuti aturan, tradisi, kebiasaan,
tata tertib. Saya tidak melihat dari latar belakang keluarga, penghasilan orang
tua, latar belakang agama, adat- istiadat ataupun suku dan bangsa.
Selama
anak itu mau belajar dan berproses di asrama, maka saya menganggapnya adalah adik
saya sendiri. Jika seperti itu maka sifat kekeluargaan, kedaerahan atau
kesukuan menjadi nomor dua. Hal paling penting yang saya nilai adalah semangat
untuk berjuang, semangat untuk berproses dan semangat untuk belajar meskipun pernah mengalami
kejadian pahit.
Tulisan ini dipublikasikan setelah mendapat persetujuan dari
objek tulisan (Herik Sam Waropen)
Penulis adalah Pembina Asrama Putra Taruna Karsa Nabire
Tidak ada komentar:
Posting Komentar