Oleh: Agustian Tatogo
Diklat. doc. |
Kalau kita
berbicara tentang anak maka hal itu tidak terlepas dari kedua orang tua (keluarga).
Bagaimana pun juga anak adalah buah hati dari kedua orang tua. Anak adalah
generasi penerus bangsa. Maka, anak perlu dan harus dilindungi. Begitu pula
hak- hak anak perlu kita ketahui dan perlu kita penuhi. Menurut undang- undang
tentang anak, yang termasuk anak adalah anak yang dalam kandungan ibu sampai
umur 18 tahun termasuk mereka yang belum menikah.
Dalam kegiatan Diklat tersebut, banyak hal yang
saya pelajari terutama dalam hal menangani anak baik di asrama, panti asuhan
atau pun di sekolah serta di sosial masyarakat. Hal utama yang diajarkan dalam
diklat ini adalah hak- hak anak. Setiap
anak mempunyai hak untuk melakukan apa saja. Sesuai kesepakatan PBB (Pesatuan
Bangsa- bangsa) dalam istilah Konvensi Hak Anak (KHK) yang disederhanakan oleh
pemerintah Indonesia dengan undang- undang nomor 23 tahun 1993 tentang hak
anak. Kesepakatan hak anak antara lain hak hidup, hak tumbuh kembang, hak
pertisipasi dan hak perlindungan. Kemudian UU nomor 23 tahun 1993 diperbaharui
lagi pada UU nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak.
Jujur saja,
saya baru mengetahui bahwa seorang anak itu juga punya hak. Hak di mana dia
punya hak untuk hidup seperti memenuhi kebutuhan hidup sehari- hari seperti
sandang, pangan dan papan. Dia punya hak untuk tumbuh kembang seperti bermain,
bersantai, beristirahat, berpendidikan serta memiliki kesehatan yang baik. Dia
juga punya hak untuk berpartispasi dalam berbagai hal, misalnya terlibat dalam
berbagai kegiatan seperti kerohanian di tempat- tempat ibadah, berperan dalam
kegiatan OSIS atau pramuka di sekolah, berperan dalam hal organisasi dan
kepanitiaan baik di sekolah, di tempat ibadah, di lingkungan masyarakat. Begitu
pula, anak itu punya hak untuk dilindungi, dilindungi dari kekerasan secara
fisik dan psikis, dilindungi dari kekerasan seksual, eksploitasi, dilindungi
dari bahaya, dst.
Bagi orang
tua atau pembina asrama, pengasuh panti asuhan atau pendamping pesantren atau
orang tua tempat penitipan alternatif (penitipan anak karena orang tua asli
mengalami satu dan lain hal sehingga anak diasuh oleh orang lain) perlu kita
sadari bahwa jika hak- hak anak tersebut kita tidak penuhi, maka negara
menutunt kita secara hukum. Mengapa demikian? Karena negara sudah mengatur
tentang undang- undang perlindungan anak. Munurut undang- undang perlindungan
anak, jika anak mengalami kekerasan baik secara fisik atau psikis maka pelaku
dijerat hukum perlindungan anak. Begitu pula ketika kita tidak memenuhi
kebutuhan anak, maka kita juga terjerat hukum perlindungan anak. Anak juga
punya hak untuk menyampaikan isi hati. Jika kita membatasi hak anak maka, itu
juga kita dijerat hukum.
Lalu
pertanyaannya, apakah semua hak anak kita patuhi atau turuti? Jawabannya tidak
selalu dan tidak semua kita turuti. Mengapa? Jika kita hanya ikuti kemauan anak
saja maka kita tidak berhasil dalam mendidik anak. Begitu pula jika semua hak
anak kita tidak penuhi maka kita juga tidak berhasil mendidik anak. Lalu,
sebaiknya harus bagaimana? Kita sebagai orang tua, wali, pendamping atau
pembina pasti pahami hak apa saja yang harus kita penuhi dan hak apa saja yang
kita tidak turuti. Utamakan dahulu kebutuhan sangat mendesak.
Memang benar,
bahwa anak punya kesempatan untuk menyampaikan kebutuhan yang harus dipenuhi.
Namun, kita sebagai orang tua, pendamping, pembina atau orang tua wali perlu
kritis dalam memilih hal kebutuhan yang harus dipenuhi dan kebutuhan yang tidak
harus penuhi. Apa yang menurut anak baik, belum tentu baik menurut orang tua,
begitu pula apa yang baik menurut orang tua, belum tentu baik menurut anak.
Sebagai orang
tua, orang tua wali, pembina maupun pendamping, kita tidak harus menjadi keras
terhadap anak. Tetapi hal yang paling mungkin adalah ketegasan. Selama kita
memberikan ketegasan pada anak maka kita akan terhindar dari undang- undang
tentang perlindungan anak. Sebaliknya, ketika kita keras terhadap anak, undang-
undang tentang perlindungan anak akan selalu menuntut kita. Maka, jadilah orang
tua, wali, pembina atau pendamping yang tegas (bukan keras).
Demikian
gambaran besar tentang perlindungan anak yang saya pahami pada Pendidikan dan
Pelatihan (Diklat) Perlindungan Anak di Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan
Kesejahteraan Sosial (BBPPKS) Regional VI Papua di Kamkey, Abepura, Jayapura
pada tanggal 9 – 20 Agustus 2015.
Penulis adalah Guru dan Pembina Asrama di SMA YPPK Adhi Luhur Nabire,
Papua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar