Jumat, 22 Mei 2015

SAKIT HATIKU UNTUKMU



Oleh: Agustian Tatogo
 
Ilustrasi.doc
Pada perjalanan pulang ke Papua, di dalam Kapal Labobar saya mendengar obrolan yang kurang menarik menurutku. Obrolan itu menyangkut Papua dan masyarakat Papua. Bukan masalah apa dan bagaimana, tetapi obrolan itu lalu memojokkan orang Papua dan tanah Papua. Saya tidak tahu, apakah teman- teman satu deretan dari Papua itu mereka bisa mendengarkan atau tidak, sebab obrolan tersebut mereka memakai bahasa mereka sendiri yakni bahasa Jawa. Saya bisa mendengar dan dapat pahami bahasa Jawa dengan baik.
Ternyata benar bahwa mereka yang datang dari pulau Jawa dan dari daerah lain di Nusantara ke Papua membawa perubahan besar. Perubahan itu tidak selalu arah yang positif dan tidak selalu berdampak baik bagi masyarakat Papua dan tanah Papua. Salah satu hal dalam obrolan itu adalah masalah ekonomi yakni di mana masyarakat pendatang memanfaatkan momen tertentu di daerah Papua untuk mengembangkan usaha mereka. Agar usaha mereka laku dan mempunyai penghasilan lebih, maka mereka melakukan berbagai cara. Misalnya, menjual barang dagangan dengan harga yang lebih tinggi dari harga jual di kota- kota besar bahkan suatu jenis produk dijual dua tiga kali lebih dari harga jual di kota- kota besar di Nusantara.
Menjadi keprihatinan kita adalah bukan saya, bukan pula para terpelajar. Tetapi yang lebih bermasalah adalah masyarakat kecil dan miskin kampung dan kota di Papua. Mereka tidak sedikit yang belum (tidak) mengenyang pendidikan seperti masyarakat lain di Nusantara. Karena belum (tidak) berpendidikan maka selalu ditindas oleh para pendatang yang pandai berdagang. Untuk berdagang, seseorang tidak harus berpendidikan formal namun cukup miliki jiwa pedagang. Namun, jiwa berdagang itu saja belum (tidak) dimiliki oleh sebagian besar masyarakat Papua.
Kita harus turun bantu masyarakat berdagang
Yang dimaksud dengan kata “kita” tidak hanya menunjuk pada saya sebagai seorang terpelajar, tidak hanya perorangan (terpelajar), tidak hanya lembaga gereja, pemerintahan dan non pemerintahan seperti sosial. Masalah di Papua, salah satunya ekonomi adalah masalah kita semua. Kita tidak bisa hanya mengharapkan (menyerahkan) masalah itu pada pemerintah atau lembaga tententu saja atau mereka yang menekuni di bidang ekonomi dan akuntansi saja. Namun, kita sebagai orang Papua, kitalah yang harus mengubah dan memperbaiki ekonomi di Papua.
Bagaimana cara kita ajarkan berdagang kepada masayarakat kita di Papua? Tentu kita mengetahui akan hal itu.  Berdagang itu harus memulai dari kecil. Kita tidak bisa melonjak tinggi begitu saja, tetapi harus bertitik tolak dari hal- hal kecil. Dalam berdagang, mungkin saja kita akan rugi. Tetapi, rugi bukan berarti kita berhenti di situ tetapi kita terus berjuang untuk memperoleh hasil yang memuaskan bagi diri kita, bagi keluarga kita dan bagi masyarakat.
Untuk berdagang, kita perlu belajar dari perjuangan masyarakat China ketika berdagang. Ketika mereka jual dan ketika barang jualannya tidak laku terus, bukan berarti mereka patah semangat, namun justru di situlah semangat mereka melonjak tinggi untuk terus berdagang. Maka, kita tidak heran jika kebanyakan masyarakat China itu memiliki kekayaan yang lebih banyak dibanding masyarakat Nusantara, apalagi masyarakat Papua.
Agar kita tidak sakit hati terus menerus kepada masayarakat pendatang, maka marilah kita memulai dari berdagang meski sekecil apapun. Saya tidak berharap, bahwa para pembaca tidak harus mengikuti saya yang sakit hati mendengar obrolan para pendatang yang datang ke Papua untuk memanfaatkan situasi yang ada di sana untuk berdagang dan mereka menjadi kaya di atas tanah Papua dan masyarakat pribumi menjadi semakin miskin dan tertindas atas tanahnya sendiri.

-----Salam Perjuangan-----

Tidak ada komentar:

Posting Komentar