Oleh: Agustian Tatogo
Ilustrasi.doc |
Pada
perjalanan pulang ke Papua, di dalam Kapal Labobar saya mendengar obrolan yang
kurang menarik menurutku. Obrolan itu menyangkut Papua dan masyarakat Papua.
Bukan masalah apa dan bagaimana, tetapi obrolan itu lalu memojokkan orang Papua
dan tanah Papua. Saya tidak tahu, apakah teman- teman satu deretan dari Papua
itu mereka bisa mendengarkan atau tidak, sebab obrolan tersebut mereka memakai
bahasa mereka sendiri yakni bahasa Jawa. Saya bisa mendengar dan dapat pahami
bahasa Jawa dengan baik.
Ternyata
benar bahwa mereka yang datang dari pulau Jawa dan dari daerah lain di
Nusantara ke Papua membawa perubahan besar. Perubahan itu tidak selalu arah
yang positif dan tidak selalu berdampak baik bagi masyarakat Papua dan tanah
Papua. Salah satu hal dalam obrolan itu adalah masalah ekonomi yakni di mana
masyarakat pendatang memanfaatkan momen tertentu di daerah Papua untuk
mengembangkan usaha mereka. Agar usaha mereka laku dan mempunyai penghasilan
lebih, maka mereka melakukan berbagai cara. Misalnya, menjual barang dagangan
dengan harga yang lebih tinggi dari harga jual di kota- kota besar bahkan suatu
jenis produk dijual dua tiga kali lebih dari harga jual di kota- kota besar di
Nusantara.
Menjadi
keprihatinan kita adalah bukan saya, bukan pula para terpelajar. Tetapi yang
lebih bermasalah adalah masyarakat kecil dan miskin kampung dan kota di Papua.
Mereka tidak sedikit yang belum (tidak) mengenyang pendidikan seperti
masyarakat lain di Nusantara. Karena belum (tidak) berpendidikan maka selalu
ditindas oleh para pendatang yang pandai berdagang. Untuk berdagang, seseorang
tidak harus berpendidikan formal namun cukup miliki jiwa pedagang. Namun, jiwa
berdagang itu saja belum (tidak) dimiliki oleh sebagian besar masyarakat Papua.
Kita harus turun bantu masyarakat berdagang
Yang
dimaksud dengan kata “kita” tidak hanya menunjuk pada saya sebagai seorang
terpelajar, tidak hanya perorangan (terpelajar), tidak hanya lembaga gereja,
pemerintahan dan non pemerintahan seperti sosial. Masalah di Papua, salah
satunya ekonomi adalah masalah kita semua. Kita tidak bisa hanya mengharapkan
(menyerahkan) masalah itu pada pemerintah atau lembaga tententu saja atau
mereka yang menekuni di bidang ekonomi dan akuntansi saja. Namun, kita sebagai
orang Papua, kitalah yang harus mengubah dan memperbaiki ekonomi di Papua.
Bagaimana
cara kita ajarkan berdagang kepada masayarakat kita di Papua? Tentu kita mengetahui
akan hal itu. Berdagang itu harus
memulai dari kecil. Kita tidak bisa melonjak tinggi begitu saja, tetapi harus
bertitik tolak dari hal- hal kecil. Dalam berdagang, mungkin saja kita akan
rugi. Tetapi, rugi bukan berarti kita berhenti di situ tetapi kita terus
berjuang untuk memperoleh hasil yang memuaskan bagi diri kita, bagi keluarga
kita dan bagi masyarakat.
Untuk
berdagang, kita perlu belajar dari perjuangan masyarakat China ketika
berdagang. Ketika mereka jual dan ketika barang jualannya tidak laku terus,
bukan berarti mereka patah semangat, namun justru di situlah semangat mereka
melonjak tinggi untuk terus berdagang. Maka, kita tidak heran jika kebanyakan masyarakat
China itu memiliki kekayaan yang lebih banyak dibanding masyarakat Nusantara,
apalagi masyarakat Papua.
Agar
kita tidak sakit hati terus menerus kepada masayarakat pendatang, maka marilah
kita memulai dari berdagang meski sekecil apapun. Saya tidak berharap, bahwa
para pembaca tidak harus mengikuti saya yang sakit hati mendengar obrolan para
pendatang yang datang ke Papua untuk memanfaatkan situasi yang ada di sana untuk
berdagang dan mereka menjadi kaya di atas tanah Papua dan masyarakat pribumi
menjadi semakin miskin dan tertindas atas tanahnya sendiri.
-----Salam Perjuangan-----
Tidak ada komentar:
Posting Komentar