Oleh: Agustian Tatogo
Yakoba Takimai, itulah sebuah nama
yang menggambarkan seorang wanita berusia paru baya yang biasa berada di
lingkungan Gereja Paroki St.Pemandi Waghete. Wanita ini sudah cukup lama berada
di lingkungan gereja. Dia tinggal dia sebuah gua kecil yang dibuat olehnya. Gua
kecil ini dibuat dari tumpukan plastik dan bekas karung beras, dsb. Setiap
hari, dia masak sendiri menggunakan kaleng sarden. Ketika dia ditawari untuk
tinggal di rumah belakang gereja pun tidak mau, dibuatkan satu rumah khusus
untuk dia pun tidak mau.
Wanita ini
menjadi bahan perbincangan selama ini, mengapa? Pertama, jika diihat dari kenormalan secara fisik, dia normal tanpa
kekurangan sesuatu pun. Tetapi dari segi psikologis, wanita ini sedikit
terganggu sehingga seringkali dia berperilaku seperti orang “Kurang waras”. Kedua, di balik kekurangnnya itu dia
punya talenta yang dia simpan. Hal ini dapat dilihat dari perilaku dia yang
jarang diikuti oleh masyarakat umum di sekitarnya.
Wanita ini
terbilang akrab dengan masyarakat sekitar. Terkadang tanpa malu dia melakukan
apa saja yang hendak dilakukan olehnya. Memang karyanya sulit ditiru oleh orang
lain. Ketika ada kegiatan seperti keagamaan, politik, social, dia selalu
terlibat di sana. Dia juga tak kenal lelah dalam segala usaha.
Hatinya yang
polos membuat wanita tua ini tidak pernah berubah dalam hal perubahan fisik.
Misalnya, tidak ada perubahan fisik antara delapan tahun lalu dengan sekarang.
Faktor lain yang membuat dia tidak pernah berubah fisik adalah ketekunan akan
kerja dan dia tidak mengenal lelah. Satu hal yang menjadi kebanggaan umat
Katholik di gereja Paroki Waghete dan masyarakat Deiyai secara umumnya adalah
dia bekerja tidak mengenal waktu. Dia bekerja setiap saat. Berbeda dengan umat
dan masyarakat lain, yang mengatur jadwal kerja terutama di lingkungan gereja.
Namun, wanita ini tidak melihat situasi, entah panas, dingin, hujan, malam,
dsb. namun, dia punya satu prinsip bahwa
dia bekerja untuk gereja. Artinya, dia bekerja untuk Tuhan dan lebih kemulian
nama Tuhan. Meskipun, dia memiliki keterbatasan psikologi, tetapi dia masih dan
terus dibutuhkan oleh gereja, umat, masyarakat dan Tuhan.
Terimakasih
Mama Yakoba Takimai, terkadang masyarakat memandang sebelah mata tetapi dia
akan menjadi yang pertama dan utama di hadapan Dia Sang Pemberi Hidup.
Pengalaman ini sebagai satu inspirasi an bahan refleksi untuk kita yang normal
secara psikologis. Mari belajar dari kisah inspirasi Mama Yakoba Takimai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar